Jumat, 30 Januari 2009

Reckless Story Part 21

Hasil Chatting


Kejadian ini terjadi bulan Febuari 2001, dan aku ingin sekali berbagi
pengalaman pada para pembaca. Aku Nissa 22 tahun, ciri-ciri diriku
mempunyai tinggi 165 cm dan berat 55 kg, kulit putih bersih, rambutku
coklat ikal dan panjang. Kata teman-temanku wajahku mirip dengan seorang
artis Hollywood Catherine Jetazones. Mereka bilang wajahku klasik dan
tubuhku sexy, mungkin karena 4 darah campuran yang kudapat dari kakek
dan orangtuaku. Aku masih kuliah di PTS Bandung dan mengontrak sebuah
rumah di kawasan jalan Anggrek bersama seorang temanku yang bernama Lia.

Suatu hari tepatnya malam minggu aku pergi ke warnet untuk mengerjakan
tugas mengetikku dan memeriksa email yang masuk. Teman sekontrakanku
sudah dari siang pergi malam mingguan dengan pacarnya. Aku sendiri saat
itu masih sendiri dan aku menikmatinya.

Selama hampir 3 jam aku mengetik, akhirnya selesai sudah tugas-tugasku,
jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Setelah itu kubuka MIRC karena aku
berniat chatting beberapa jam. Aku masuk chanel Bandung. Tiba-tiba
sebuah nickname ‘ayah_bdg’ mengajakku untuk mojok, aku pun mengobrol
dengannya, obrolan kami makin asyik, mulai dari kuliah, hobi, dan
sebagainya. Hingga tidak terasa hampir 1 jam aku mengobrol dengannya.

Dari obrolan itu aku mengetahui kalau dia bernama Adit, usia 40 tahun,
mempunyai perusahaan sendiri di Jakarta dan statusnya duda beranak satu,
dan saat ini sedang ada di Bandung untuk refresing bersama anak dan baby
sisternya. Pembicaraan kami pun berubah, dia menanyakan warnet tempat
aku chatting. Tanpa curiga aku pun memberitahukannya. Lalu Adit meminta
kami bertukar nomor telpon dan photo. Aku pun memberikannya dengan
senang hati. Baru saja 5 menit berlalu, HP-ku berbunyi dan Mas Adit
menelponku langsung.

“Hallo.. Nissa.”
“Hallo.. ayah_bdg, wah engga nyangka langsung telpon nih..” jawabku.
“Iya.. habis Nissa cantik sih.”
“Hmm.. gini deh.., kita jalan yuk..! Aku jemput kamu disana yah..?”
“Boleh.. aja.” jawabku lagi.
“Ok deh, tunggu 10 menit dan cari deh mobilku berplat B di depan warnet
yah..!”
“Ok..” jawabku mengakhiri pembicaraan kami.

Setelah hampir 10 menit, HP-ku berbunyi dan Mas Adit telah menungguku di
tempat parkir. Kubereskan tasku dan kusisir rambutku, lalu kubayar jasa
warnet dan berjalan menuju tempat parkir. Kulihat sebuah mobil BMW hitam
berplat B berwarna hitam, dan di dalamnya Mas Adit tersenyum. Aku pun
tersenyum dan menghampiri mobilnya lalu kubuka pintu mobilnya dan duduk
di sebelahnya.

“Hallo.. ayah_bdg.” ucapku malu-malu.
“Hallo juga Nissa.., kita makan yuk..?” ajaknya sambil menjalankan mobil.
Aku pun mengangguk. Selama diperjalanan kami cepat menjadi akrab, lagi
pula kupikir Mas Adit ganteng juga, selain badannya tinggi besar dia
juga kebapakan.

Kami makan di Haritage Banda sambil meneruskan perbincangan kami.
“Hmm.. Mas, engga pa-pa kan kalo Nissa panggil ayah saja..? Seperti
nickname Mas.” tanyaku padanya.
“Ah.. boleh saja, tapi khusus buat Nissa saja.” ucapnya tersenyum.
Setelah selesai makan, tiba-tiba ponsel ayah berbunyi, ternyata dari
baby sitter anaknya.

“Nissa, mau ikut Ayah engga besok..?” tanya Ayah sambil mengajakku
keluar dari Haritage menuju tempat parkir.
“Memangnya Ayah mau kemana..?” tanyaku sambil membuka pintu.
“Ayah mau ke Ciater dengan Deri juga Ina, baby sitter-nya.” jawab Ayah
sambil menjalankan mobil keluar dari tempat parkir.
“Memangnya berapa hari di sana..?” tanyaku.
“Cuma dua hari.” jawab Ayah.
Akhirnya aku pun bersedia ikut, lalu Ayah mengantarku pulang ke
kontrakanku.

Pagi-paginya Ayah sudah datang menjemputku. Aku pun berkenalan dengan
Deri anaknya juga Ina baby sitter anaknya. Selama di perjalanan, Deri
sudah dekat denganku, bahkan dia memanggilku Bunda Nissa, aku sih cuek
saja. Deri anaknya manis dan cerdas, sungguh kasihan dia ditinggal oleh
ibu kandungnya karena meninggal saat melahirkan Deri.

Akhirnya kami sampai di Ciater setelah memesan 2 kamar di sebuah hotel.
Ayah, aku dan Deri pergi berenang dan bercanda bersama. Pada saat itu
kurasa kami bertiga bagaikan sebuah keluarga kecil yang bahagia. Setelah
puas berenang, kami kembali ke hotel untuk makan, lalu aku menidurkan
Deri di kamar bersama Ayah. Kami mendampinginya sampai Deri tertidur.

“Nissa.. terimakasih karena kamu sudah baik pada Deri.” ucap Ayah sambil
bangkit berdiri di depan jendela.
Aku mengikuti Ayah dan berdiri di sampingnya.
“Tidak perlu berterimakasih.., Nissa sayang pada anak-anak, apalagi Deri
anak yang lucu dan pintar.” jawabku tersenyum.
“Baiklah, jika mau istirahat, pergilah ke kamar sebelah..! Di sana Ina
pasti sudah menunggu.” ucap Ayah.
“Ok.., kalau ada apa-apa, Ayah panggil Nissa ya..!” jawabku sambil
berlalu dan pergi ke kamar sebelah.

Kulihat Ina sudah tertidur dengan pulas. Lalu aku mengganti bajuku
dengan lingerie yang biasa kupakai. Aku melamun selama hampir 1 jam, dan
anehnya aku mengkhayalkan bagaimana jika aku menjadi istri Ayah. Itu ide
gila ya pembaca..? Tapi aku merasa sudah mengenal Ayah seperti
bertahun-tahun. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk, Tok.. tok.. tok.

“Ina.., Nissa..!” kata suara di balik pintu.
“Iya.., sebentar..” jawabku sambil membuka pintu.
Ketika pintu kubuka, kulihat Ayah terkejut dan menatapku lekat-lekat.
“Nissa, kamu cantik sekali.” ucap Ayah sambil tersenyum.
“Ah.., bisa saja.” jawabku sambil merapikan lingerie yang kupakai.
“Kebetulan Ayah mau ngajak kalian makan, Ayah memesan pizza tadi.”
“Wah.. Nissa suka tuh, tapi Ina sudah tidur Yah..!” ucapku singkat.

Akhirnya aku dan Ayah pergi ke kamarnya. Kami duduk di sofa sambil
menikmati pizza juga menonton televisi.
“Nissa.., Ayah sayang padamu.” kata Ayah tiba-tiba sambil menggenggam
tanganku, aku tersenyum dan entah kenapa secara spontan kucium kening Ayah.
“Nissa juga.” ucapku.
Ayah memeluk tubuhku dan aku membiarkannya. Lalu kurasakan Ayah menatap
mataku dalam-dalam.
“Kamu cantik sekali.” ucap Ayah lalu mengecup hidungku, aku diam saja
dan menikmatinya.

Ayah semakin berani, diciuminya seluruh wajahku hingga kurasakan
hembusan napasnya yang hangat. Aku pasrah karena menyukainya, lagi pula
ada aliran aneh pada tubuhku yang menuntut lebih banyak lagi. Lalu Ayah
mendaratkan bibirnya di bibirku, dilumatnya dan kubalas dengan mengulum
lidahnya lembut. Kuluman Ayah membuatku mulai sulit bernapas. Sementara
itu tangan Ayah mulai menurunkan tali lingerie-ku hingga payudaraku
terlihat setengahnya.

Ditariknya tubuhku untuk berdiri dan aku menurutinya. Sambil terus
melumat bibirku, kedua tangan Ayah menarik-narik lingerie-ku hingga
akhirnya terjatuh di antara kakiku. Ayah mengelus-elus punggungku yang
sudah telanjang dan mendorong tubuhku agar duduk di sofa. Kupandangi
Ayah yang sedang membuka kimono-nya, luar biasa..! Aku menyukai badannya
yang berbulu. Lalu Ayah membuka CD-nya, aku melongo karena kagum. Batang
Ayah sangat panjang dan besar, belum lagi bulu-bulu di sekitarnya.

Ayah mendekatiku, kemudian berjongkok di antara kakiku. Dielus-elusnya
vaginaku yang masih terbungkus g-string. Aku melenguh saat jari-jarinya
mengelus belahan vaginaku. Kemudian Ayah menarik CD-ku hingga terlepas.
Lalu Ayah tersenyum karena melihat vaginaku merekah di depan matanya.
Ayah mencium bibirku dan aku membalasnya, kurasakan payudaraku
tergesek-gesek bulu-bulu dadanya yang membuatku kegelian.

Ciumannya makin liar karena telah beralih ke telinga dan leherku. Aku
mulai mendesah pelan, kuusap-usap rambut Ayah dengan lembut. Ayah
meneruskan jilatannya pada puting payudara kananku, dijilatnya
beruputar-putar dan berulang-ulang, membuatku semakin mendesah. Payudara
kiriku diremas-remasnya dengan lembut. Napasku mulai memburu karena
perlakuan Ayah pada kedua payudaraku. Selama beberapa saat aku hanya
mendesa-desah.

“Ayahh.., ohh.., ohh..!”
“Ayah ingin menjadikanmu sebagai istriku, kamu mau Nissa..?” tanya Ayah
menghentikan jilatannya di payudaraku.
Aku menatap matanya dan kuanggukkan kepalaku karena aku tidak dapat
berpikir apa-apa lagi, karena nafsuku sudah tinggi. Ayah tersenyum dan
melumat bibirku sambil mengelus-elus payudaraku yang sudah basah oleh
air liurnya. Lalu Ayah menyuruhku mengangkat kedua kakiku ke atas sofa
dan merengganggkannya lebar-lebar.

Kemudian Ayah mendekatkan kepalanya di vaginaku yang sudah basah, dan
mulai menjilatinya. Aku mendesah saat ujung lidahnya menyentuh vaginaku,
“Ohh..!”
Ayah terus menjilatinya secara teratur dan berulang-ulang. Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku menahan kenikmatan. Ayah terus
menjilatinya dan mulai menyedot-nyedot klitorisku. Aku meracau sambil
menjambaki rambut Ayah.

“Ahh.. teruss.. teruss, enak Yahh..! Ohh..!”
Ayah terus menyedot-nyedot dan aku pun berteriak seiring dengan menjepit
kepala Ayah kuat-kuat. Kusemburkan cairan kewanitaanku dan Ayah
menjilati dan menghisapnya pelan sekali. Mungkin dia tahu aku menahan
ngilu pada vaginaku. Ayah lalu mencium payudaraku dan menghisapnya cukup
lama hingga aku terangsang kembali. Aku langsung menggenggam batangnya
yang sudah tegang itu. Kuelus-elus, kemudian kumasukkan dalam mulutku.
Kujilat-jilat, kugigit-gigit lembut kepala batangnya. Ayah melenguh
mengusap-usap rambutku.

“Nissa.. teruss.. Sayangg..! Hisapp teruss Sayangkuu..! Ohh..!” desahnya.
Aku terus menghisap dan mengeluar-masukkan batang Ayah dalam mulutku
semakin cepat, kukocok-kocok semakin cepat dan kuat.
“Akhh.. Nissaa.. Ayahh.. mauu.. keluarr..!”
“Crot.. crott.. crott..!” batang Ayah menembakkan spermanya ke dalam
mulutku aku tersedak dan menelan sperma Ayah.

Kuhisap-hisap ujung penisnya sampai bersih, Ayah melenguh dan ambruk di
sampingku. Kemudian kucium bibir Ayah.
“Nissa sayang Ayah..!” ucapku sambil membiarkan Ayah meremas payudaraku.
Lalu Ayah menggendongku sambil terus melumat bibirku, dibaringkannya
tubuhku di samping Deri.
“Ayah.., nanti Deri bangun.” ucapku pelan.
“Sstt..!” guman Ayah sambil mengangkat Deri dan dibaringkannya di sofa.

Kemudian Ayah mendekatiku dan menindih tubuhku, diciumnya bibirku dengan
hangat. Tangannya meremas-remas pantatku, lalu bibirnya turun di atas
payudaraku dan diciumnya sambil dihisapnya bergantian. Aku hanya
mendesah keenakan ketika dibukanya kedua kakiku dan Ayah berjongkok dan
mulai menjilati vaginaku. Aku mendesah-desah tidak kuat, tapi Ayah terus
menjilati dan menghisap-hisap vaginaku yang sudah basah lagi. Ayah pun
sepertinya sudah tidak tahan, sehingga diarahkannya batangnya ke lubang
vaginaku. Kemudian digesek-gesekkannya kepala batangnya yang plontos itu
di belahan vaginaku berulang-ulang. Aku melenguh menahan sensasi nikmat
di daerah vaginaku.

Setelah semakin basah, Ayah menekan kepala batangannya untuk masuk lebih
dalam pada lubang vaginaku.
Diperlakukan seperti itu aku berteriak, “Akhh.. sakitt.. Yah..!”
“Tahan sedikit Sayang..!” ucap Ayah menenangkanku.
Kemudian Ayah mencobanya lagi hingga berkali-kali. Dan akhirnya,
Blessh.. Ayah menekan batangnya dalam sekali hingga selaput daraku
robek. Aku menjerit menahan nyeri dan merasakan vaginaku begitu sesak.

Ayah mendiamkan aktifitas tubuhnya sambil mengelus-elus tubuhku. Tidak
terasa air mataku menetes setelah beberapa saat ayah menggerakkan
pinggulnya dan mulai mengeluar-masukkan batang kemaluannya. Aku melenguh
nikmat sekaligus perih. Ayah menggenjotku selama 10 menit. Vaginaku
sudah semakin basah dan aku menjerit karena mendapatkan orgasme lagi.
Kurasakan vaginaku berdenyut-denyut. Ayah mendiamkan batang
kejantanannya di dalam vaginaku sambil menyedot-nyedot payudaraku.

Kemudian Ayah mencabut batangnya dan menyuruhku menungging. Kurasakan
vaginaku dimasuki kembali batang kemaluan Ayah, setelah itu mulai
dikeluar-masukkan kembali ke vaginaku dengan pelan. Sementara itu tangan
Ayah masih meremas-remas dan menarik-narik puting payudaraku dengan
kuat. Aku mulai mendesah menahan rasa nikmat.
“Ayahh.., ahh.. teruss.. sodokk.. sodokk.. enakk sekali..!” racauku
tidak tahu malu.

Ayah terus menekan dan menarik batangnya semakin cepat, dan aku semakin
meracau tidak karuan.
“Akhh.., Nissaa suka.. ohh.. teruss.. ahh..!”
Ayah terus meyodok vaginaku dengan kuat, aku pun memaju-mundurkan
pantatku sehingga persetubuhan kami sangat menggairahkan. Aku dan ayah
mendesah-desah penuh kenikmatan.

“Ohh.. auhh.. akhh..!” aku pun makin keras mendesah.
Ayah semakin cepat mengeluar-masukkan batang kejantanannya.
“Ahh.. Nissa mau keluarr.. Yahh..!” teriakku karena aku akan orgasme.

Ayah semakin gencar menyodok-nyodok vaginaku sambil terus menarik-narik
dan meremas-remas payudaraku. Sodokan-sodokan pada vaginaku membuatku
menjerit karena merasa tidak tahan lagi.
“Akhh.. ehhmm..!” lenguhku.
Tubuhku lemas sambil memeluk Ayah kuat-kuat. Karena Ayah belum orgasme,
Ayah terus mengeluar-masukkan batangnya tanpa memperdulikan vaginaku
yang masih ngilu.

“Ohh.. ahh.. Nissaa engga kuatt.. aughh..!” teriakkanku malah makin
membuat Ayah semakin cepat menghujamkan batangnya pada vaginaku.
“Ayahh.. hampirr.. Sayang.., tahan sebentar.. ohh..!” lenguh Ayah.
Lalu kurasakan Ayah memelukku erat-erat seiring dengan tembakan
spermanya, rasanya hangat dan nikmat. Tubuhku lunglai dan Ayah masih
mendiamkan batangnya berada dalam vaginaku. Kami berpelukan sambil
mengatur napas.

Setelah agak tenang, Ayah mencabut batangnya. Kemudian kami berciuman
dengan mesra, lidah kami saling berpaut diselingi hisapan-hisapan Ayah
di lidahku. Tangan Ayah tentu saja meremas-remas payudaraku. Semakin
lama kami semakin terangsang kembali. Ayah memainkan puting payudaraku,
dijilat-jilatnya dengan rakus dan terus menghisap dengan penuh nafsu.
Aku mulai mendesah merasakan vaginaku basah kembali. Ayah meneruskan
jilatannya ke perutku, kemudian menyuruhku mengangkat dan melipat kedua
kakiku ke atas hingga berada di antara kepalaku. Dengan posisi ini sudah
jelas vaginaku yang basah terbuka lebar di depan matanya.

Ayah menjilat-jilat vaginaku sambil menusuk-nusukkan lidahnya di antara
belahan vaginaku. Mendapat rangsangan seperti itu aku mendesah tidak
terkendali lagi.
“Ohh.. Ayahh.. enak sekali.. teruss.. ohh.. hisapp teruss..! Hisapp..
memekk Nissa.. ohh..!”
Ayah semakin cepat menghisap-hisap vaginaku yang banjir oleh cairan
kewanitaanku. Aku semakin merengganggkan kedua kakiku lebar-lebar agar
Ayah lebih leluasa melakukan gerakannya.

Jilatan-jilatan di vaginaku yang enak itu membuatku memohon-mohon.
“Ohh.. Ayahh.., masukkan..! Nissaa.. mohon..!” pintaku pada Ayah.
Ayah pun menggesek-gesekkan batang kejantanannya di vaginaku yang becek.
Aku melenguh nikmat, mulutku mendesis-desis tidak tahan. Ayah memasukkan
batangnya pada lubang vaginaku.
Penetrasinya itu membuatku terus meracau, “Oh.. enakk Yahh.. yeahh..
lebih cepat.. ohh.. enakk sekali.. sodok.. terus.. memek Nissa Yahh..!
Akhh.. mmff.. ohh..!”
“Iya Sayangku. Ayahh.. suka memek kamu.. ohh.. Nissaa..!” racau Ayah
membalasku.
Genjotan ayah di vaginaku semakin cepat dan liar hingga terasa menyentuh
rahimku.

“Nissa.. mau keluar Yahh.., ohh..!” teriakku.
“Ayahh.. juga Sayang.., ohh..!”
Crott.. crott.. crott..! Kami berdua menjerit, bersamaan itu kurasakan
tembakan sperma Ayah yang kuat. Ayah mencium bibirku. Karena kelelahan,
kami pun tertidur lelap.

Paginya saat kami bangun, Deri naik ke ranjang.
Dia yang tidak mengerti apapun tersenyum manis sambil berkata, “Deri
juga mau.. bobo ama Bunda Nissa yah.”
Kami hanya berpandangan dengan penuh kemesraan sambil memeluk Deri.

Keesokannya ketika aku datang ke kamar Ayah, dia sedang berbaring di
tempat tidur. Kudekati dan duduk di tepian ranjang.
“Kenapa Deri dan Ina pergi jalan-jalan tanpa Ayah..?” tanyaku pada Ayah.
“Ayah sedikit pusing Sayang.” jawab Ayah sambil tersenyum.
“Hmm.. Nissa pijit ya..?” Ayah pun mengangguk.

Aku pun memijit dahi Ayah sambil menatap matanya. Mungkin karena gemas,
Ayah menarik kepalaku dan mencium bibirku dengan lembut, lalu dikulumnya
dan dihisap-hisapnya lidahku, aku pun membalasnya. Tiba-tiba tubuhku
ditarik ke sampingnya dan Ayah menindihku sambil menciumi leherku,
kemudian kembali lagi melumat bibirku yang basah.

Ayah menarik baju ketat yang kupakai. Aku pun membantu Ayah melepaskan
seluruh pakaiannya hingga kami berdua telah telanjang. Lalu Ayah
berbisik di telingaku.
“Sayang.., Ayah ingin bercinta denganmu.” aku hanya tersenyum.
Tanpa dikomando, Ayah mencium bibirku dan tangannya sibuk meremas-remas
payudaraku.
Aku pun mulai meresponnya dengan desahan, “Ahh.. Ayahh..!”
Ayah meneruskan jilatannya ke leherku, ketiak dan mengakhirinya di
payudara kiriku. Dijilatinya seluruh payudaraku hingga basah.

Lalu Ayah berdiri menuju selangkanganku. Aku pun mengangkangkan kedua
kakiku dan kurasakan jari Ayah menyibakkan vaginaku. Jilatan lidahnya
membuatku tersentak dan medesah tidak karuan, apalagi Ayah melakukannya
berulang-ulang. Refleks kakiku bergerak menjepit kepala Ayah, tapi Ayah
memegangi kedua kakiku agar tetap dalam posisi mengangkang. Yang
kurasakan saat itu adalah jilatan-jilatan Ayah yang sungguh luar biasa.
Cairan kewanitaanku meleleh keluar terus menerus.
“Ohh.. Ayahh.. Nissa engga kuatt lagi.. ahh..!” jeritku sambil
mencengkram seprei yang kami tiduri.

Setelah hampir 10 menit menjilati dan menghisap-hisap vaginaku, akhirnya
aku mencapai orgasme, kujepit kepala Ayah. Ayah pun bangkit, kemudian
tubuhku ditindihnya, bibirnya mencium bibirku dengan sangat bernafsu.
Tangannya tidak mau kalah meremas-remas payudaraku dengan kuat. Lalu
Ayah bersimpuh di antara pahaku dan menggesek-gesekkan jempolnya di
belahan vaginaku yang masih basah.
Aku medesah keenakan, “Ahh.. Ayahh.. enakk.. Sayangg.., nikmat sekalii..!”

Aku semakin membuka kakiku lebar-lebar, Ayah dengan sigap mengarahkan
batang kejantanannya yang sudah menegang itu ke vaginaku. Lalu kurasakan
gesekan-gesekan kepala batang penisnya yang sangat enak dan hangat.
“Ohh.. Ayahh.., teruss.. Sayangg.. aughh.. enak sekali..!”
Ayah pun menekan batang kemaluannyanya hingga amblas.
“Akhh..!” jeritku.
Lalu ayah mengeluar-masukkan batangnya. Saat itu juga aku mendesah-desah
lagi, cairan kewanitaanku mulai keluar dari vaginaku.

Ayah nampaknya mengerti keadaanku, sehingga dinaikkannya tempo
gerakannya. Ditarik.. ditekan.. berulang-ulang. Dengan refleks kugoyang
pinggulku ke kanan dan ke kiri. Akhirnya aku merasakan ada kekuatan yang
menjalar di vaginaku.
Aku meracau keras, “Ahh.. Sayang.. teruss.., Ayahh.. ohh.. ohh.. Nissa..
mauu..”
Ayah pun ikutan meracau, “Iya.. Sayang.. ayo keluarkan.. ayo..! Agar
memekmu bisa meremas kontolku..! Aohh..!”

Tanpa dapat kami bendung lagi, aku dan Ayah menjerit bersamaan.
“Ayahh.. keluarr.. ohh..!”
“Ayahh.. ohh..!” jeritku sambil berpelukan dengan erat.
Kurasakan lelehan cairan keluar dari vaginaku. Ayah mencium bibirku,
tubuh kami terkulai lemas.

Beberapa saat kami terdiam sambil berpelukan. Lalu Ayah menyuruhku
berdiri di dekat meja. Aku menurutinya saat satu kakiku dinaikkan di
atas meja dan kedua tanganku bertumpu pada dinding. Ayah mencium
bibirku, sedangkan tangan kirinya mengorek-ngorek vaginaku yang terbuka
lebar. Aku mendesis saat jari-jari ayah menggesek-gesek klitorisku.
“Ahh.. Sayang.., teruss..! Ohh memek Nisa.. ohh..!” racauku.
Ayah tersenyum dan menimpali racauanku, tetapi tangannya masih
mengorek-ngorek vaginaku yang sudah lembab.

“Kenapa memek kamu Nisa sayang..?”
“Ohh.. Ayahh.. memek Nissaa.. basahh.. Yahh.. ohh..!” jawabku sambil
melenguh tidak kuat.
“Iya.. Sayang, memek kamuu basah.. Ayahh.. suka. Nanti kontol Ayah akan
bersarang di sana sayangku..!”
Mendengar kata-kata jorok Ayah, aku semakin gila dan terangsang.

“Ohh.. Ayahh.. teruss.. lebihh.. cepatt..! Nisaa.. mauu..” ucapku lirih.
“Mau.. apaa.. Sayang..?” ucap Ayah sambil terus menggesek-gesekkan
klitorisku yang semakin besar.
“Ohh.. Nissaa.. mauu.. kontol Ayahh.. ahh.. Ayahh.. masukin dong..!
Memek.. Nissaa.. inginn.. kontol.. Ayahh..!” jawabku tidak terkendali lagi.
“Baikk.. Sayang.., memekmu sudahh tak tahan ya..? Rasakan kontol..
Ayahh.. ini.. ohh..!” ucap Ayah sambil mengarahkan batang kejantanannya
pada lubang vaginaku dan menggesekkannya ke atas ke bawah.. berulang-ulang.

Aku medesah penuh kenikmatan, “Ohh.. enakk.. Yahh.. masukkan lagii..
ohh..!” pintaku pada Ayah.
Ayah pun langsung menekannya hingga amblas pada vaginaku.
“Akhh..!” jeritku menahan rasa sakit.
Ayah mengeluar-masukkan batangnya dengan cepat. Aku semakin menjerit
histeris.
“Oh.. Ayahh.. enakk.. kontolmu.. masukk.. memekku.. ohh..!”
“Iya.. Sayang.. terimalahh.. kontolku.. oughh..!” lenguh Ayah sambil
terus menggenjot vaginaku semakin cepat.

Gerakanku semakin liar, napas kami turun naik menahan kenikmatan yang
telah sampai pada ubun-ubun kepala kami.
Akhirnya aku menyerah sambil menjerit keras, ” Ahh.. Sayang.. memek..
Nissa.. mauu.. keluarr.. ohh..!”
“Iya.. Ayah.. jugaa.. tahan.. Sayangku.. rasakan.. pejuhku.. yang banyak
ini.. ohh..!”
“Ayah, Nissaa.. ohh.. ohh..!” desahku menyambut orgasme yang kurasa akan
meledak.
“Iyaa.. Sayang, keluarkan.. Sayang.. Ayahh.. ingin.. memek.. kamu
mejepit kontol Ayahh.. ahh..!” racau Ayah menggenjotku keras dan sangat
cepat.

Aku dan Ayah memekik bersamaan, “Akh.. ohh..!”
“Crott.. crot.. crot..!” sperma Ayah memenuhi vaginaku.
Ayah memelukku erat sambil menahan tubuhku yang sudah ambruk pada
pundaknya. Dicabutnya batangnya, kemudian kujilati hingga bersih. Kami
pun naik ke ranjang dan tertidur.

Kejadiaan itu terus berulang selama 3 bulan setelah aku mencoba
memberanikan diri untuk mendekatkan diriku pada seseorang pria. Dan
hubungan kami bertumbuh menjadi hubungan yang serius, aku menjadi
kekasihnya. Akhirnya aku pun kemudian menikah dengannya.
















Tina., Gadis Bandung Yang Imut


Namaku Wiro, 27 tahun, kulit sawo matang. Aku bekerja di sebuah toko serba ada di wilayah Lenteng Agung. Selain aku, di toko tersebut masih ada 4 pekerja lagi. Tiga di antaranya perempuan, Ana 19 tahun, Lina 24 tahun, dan Tina 18 tahun. Dan seorang lagi laki-laki, Agung 19 tahun. Aku yang tertua di antara mereka. Karena itu mereka semua memanggilku Mas. Tina baru masuk kerja sekitar sebulan yang lalu. Dia orang Sunda. Kulitnya putih bersih dan wajahnya sangat manis khas Sunda. Sejak pertama kali masuk aku memang mengagumi kecantikannya. Tina tubuhnya mungil, tingginya sekitar 155-an cm tapi ramping. Beratnya aku taksir 40-an kg. Toko ini menjadi ceria sejak Tina kerja di sini, karena Tina orangnya ramai. Aku memanggilnya gadis kecil. Hampir setiap hari aku menggodanya. Dan setiap aku goda dia selalu tersenyum. Tentu itu sangat memuaskan ego laki-lakiku. Jika sedang membantu mengangkatkan barang aku sering ambil kesempatan memegang tangannya dan dia tidak menolak. Pernah karena terlalu lama aku pegang tangannya sampai dia terdiam dan menatapku. Kami bertatapan. Tina mulai terlihat pura-pura marah. Akhirnya aku lepaskan. Aku juga sering mengajak Tina main ke kosku sehabis pulang kerja. Jika di kos kami suka gobrol berlama-lama sambil bercanda. Pernah saking jauhnya bercanda, habis aku keluar dari kamar mandi, aku sekap matanya dari belakang. Dia minta dilepaskan. Akhirnya aku lepaskan. Tapi aku tidak benar-benar melepaskan, karena tanganku pindah memeluk tubuhnya dari belakang pas di bagian perutnya. Tina berontak minta dilepaskan. Aku lepaskan lagi. Tapi kemudian tanganku pindah ke atas sehingga menggenggam payudaranya.
“Ih kamu nakal”. Dia berusaha melepaskan tanganku.
Tapi aku tidak mau melepaskan. Malah aku remas-remas payudaranya. Lama-lama justru tangan Tina melelepaskan tanganku dan tidak berusahan menolak tanganku lagi. Tina mendesis. Tangannya malah meraih kepalaku di belakang kepalannya. Dan wajahnya berusaha menoleh ke belakang. Pas ketika wajahnya ada di depan wajahku aku langsung mengecup dan mengulum bibirnya. Tubuh Tina gemetar. Aku baringkan tubuh Tina yang sudah lemas ke kasur. Aku tindih, aku gesek-gesek selangkangannya dengan selangkanganku. Aku gesek-gesek dadanya dengan dadaku. Sambil bibirku terus melumat bibirnya. Kami bergulingan di kasur sampai kurang lebih 5 menit, bergumul, bergulat, saling tindih, dan saling merengkuh. Setelah itu aku melepaskan pelukanku. Rambut dan pakaian Tina acak-acakan. Aku duduk. Aku tarik tangan Tina agar bangkit. Setelah aku lumat lagi bibirnya, Tina pamitan pulang. Pas ketika dia mau membuka pintu aku panggil namanya, “Tina…” Dia menoleh. Ketika menoleh dia kaget karena aku telah ada di belakangnya. Dan aku langsung mengulum bibirnya lagi. Sambil setengah kaget dia membalasnya.
“Emhhhh…. udah-udah, nanti Tina gak jadi pulang.”
Begitulah hari-hariku dengan Tina. Aku sering memeluk dan menciumnya jika sedang sendirian. Baik di kos, di toko, di jalan, atau di tempat-tempat lain. Aku tidak tahu apakah teman-teman yang lain mengetahui ini semua atau tidak. Tapi kami tidak pernah melakukannya di depan mereka. Dan setahuku belum pernah kepergok.
Ketika malam minggu aku mengajak Tina jalan-jalan. Kami nonton film. Sepanjang film aku selalu meremas tangannya sambil sesekali mencium pipinya. Kami pulang sekitar jam 10 malam dan langsung ke kosku. Aku bilang ke Tina nanti aku antar ke kosnya pakai motor. Sampai di kos, setelah cuci muka, kami duduk-duduk sambil nonton TV. Tina duduk di sampingku. Aku peluk dia dari samping. Aku gesek-gesekkan pipiku ke pipinya. Mungkin masih terpengaruh film yang banyak adegan romantisnya tadi aku agak horny. Aku geser dudukku sehingga membelakangi dia. Aku peluk dari belakang. Aku remas-remas susunya. Tina meringis sambil menyandarkan tubuhnya ke dadaku. Aku tarik kaosnya. Aku tarik juga BH-nya. Tina tidak menolak. Akhirnya dengan bebas aku bisa meremas-remas susunya secara langsung. Susu Tina halus sekali, kenyal, dan anget. Tina membalikkan badan dan menarik kaosku. Akhirnya kami bertelanjang dada. Aku pandangi sebentar dua susunya dengan dua puting warna cokelat yang mulai mengeras itu. Lalu aku hisap putingnya dalam posisi masih duduk. Aku permainkan di antara gigi-gigiku. Tina mencengkeram kepalaku. Kepalanya menengadah. Aku berdiri sambil menarik tangannya sehingga dia ikut berdiri. Aku ajak dia berdiri di depan cermin yang besar sehingga memperlihatkan dengan jelas seluruh tubuhku dan tubuh Tina. Dia tersenyum melihatnya. Lalu aku berusaha melepaskan celananya. Dia balas melepas celana jinsku. Kembali kami melihat ke cermin. Aku dan Tina hanya pakai celana dalam. Mata Tina tertuju pada celana dalamku.
“Wow, kok?” suara Tina tertahan sambil menelah ludah.
“Hehe… iya. CD-nya ngak muat”. Sambil senyum-senyum aku memegang kepala penisku yang menyembul dari CD karena tidak muat.
Sebentar kemudian aku meraih CD Tina. Aku tarik hingga lepas. Memek Tina indah sekali. Bulu-bulunya tipis, saking tipisnya seperti agak gundul. Gundukan memek Tina tengahnya lancip. Seperti lereng gunung yang curam dan ditumbuhi savana yang sangat tipis. Tina tidak mau kalah. Dia meraih CD-ku. Dia kaget karena begitu CD-nya ditarik, penisku yang sejak tadi sudah sangat tegang ikut ketarik dan langsung memantul mengenai mukanya. Aku hanya senyum-senyum melihatnya. Sambil meletakkan CD ke lantai, mata Tina masih tertuju pada penisku yang cokelat kehitam-hitaman dan kepalanya memerah agak kebiru-biruan, panjang, besar, berurat, dan mengacung ke atas dengan gagahnya. Besarnya sama dengan lengan Tina.
“Mas, besar sekali?”
“Kamu pernah melihat penis sebelumnya?”
“Iya punya Bapak. Tapi tidak sebesar itu.”
“Santai saja. Kamu akan menikmatinya.”
Tina menurut. Aku kembali menuntun kepalanya agar menatap ke cermin. Aku peluk tubuh telanjang Tina dari belakang. Sementara penisku mengganjal di punggungnya. Indah sekali pemandangan di cermin. Tina benar-benar cantik bila telanjang, kulitnya halus mulus, mengkilat. Tubuhnya yang ramping dan mungil tertelan dalam tubuhku di belakangnya. Sangat kontras warna kulitku yang cokelat dengan kulitnya yang kuning berkilau terkena sinar lampu. Susunya yang sekal dengan puting warna cokelat yang mengacung sengaja tidak aku pegang agar aku bisa melihatnya dengan sempurna di dalam cermin. Tanganku mengelus-elus perutnya yang rata. Tina kemudian mengangkat tangannya dan meraih kepalaku di belakang kepalanya. Keteknya yang putih bersih tidak berbulu terpampang dengan sempurna. Dalam posisi itu Tina benar-benar sexy. Dadaku berdegup. Aku benar-benar ingin menikmati dan melumat seluruh tubuhnya malam ini. Perlahan tanganku naik meremas susunya. Dan bibirku melumat bibirnya. Tubuh Tina meliuk-liuk. Sesekali aku melihat ke cermin. Kami seperti dua ular yang saling merengkuh dengan kedua tanganku yang kekar meremas, memelintir, dan menguyek-uyek susu Tina yang putih dan kenyal. Masih dalam posisi berdiri di depan cermin, aku gosokkan tanganku ke selangkangannya. Tina membuka kedua kakinya, melegakan tangan kananku, tepatnya jari tengahku untuk menggosok dan menyibak gundukan memeknya. Ternyata memek Tina sudah basah.
Setelah puas melihat liukan tubuh mungil-mulus Tina dalam pelukan dan remasan-remasanku, aku rebahkan dia ke kasur. Aku langsung menindihnya dan menghisap putingnya. Aku sedot-sedor dengan halus, disertai dengan kejutan-kejutan yang berirama. Tina makin menggelinjang dan menjambak rambutku. “Hhmmmmm…………..” desisnya. Kurang lebih 5 menit aku menghisap putingnya. Kemudian aku turunkan kecupan bibirku pada perutnya yang rata. Lidahku berputar-putar pada pusarnya. Aku gigit-gigit kecil. Sementara dua tanganku masih tidak mau melepaskan susunya. Tangan-tanganku yang kekar terus menguyek-uyek susunya.
Kini mulutku telah sampai ke memeknya. Aku buka labia mayoranya dengan dua ibu jariku. Aku lihat ke dalam. Masih terlihat jelas selaput daranya. Aku jilat-jilat dalamnya. Tak lama kemudian aku hisap memek Tina dengan rakus. Aku sedot-sedot, seperti orang makan kepiting (Kalau anda pernah makan kepiting pasti tahu. Menyedot daging kepiting dari cangkangnya). Tina semakin menggelinjang kelojotan. Desisannya telah berubah menjadi jeritan-jeritan kecil. “Acchhhhhhhh…………. Shhhh……….”, suara Tina yang sendu, memelas, dan membangkitkan gairah. Aku terus “memakan” memeknya dengan rakus. Memek perawan memang nikmat rasanya. Bibirku bergerak ke atas mencari klitorisnya. Ketika aku temukan aku tarik dengan bibirku. Aku emut-emut seperti anak kecil mengemut permen kecil. Sesekali aku gigit halus dan aku tarik. Jeritan Tina makin menjadi. Tidak lebih dari 5 menit itu terjadi sebelum akhirnya aku merasakan ada perubahan pada memek Tina. Aku merasakan ada kedutan yang mengejut-ngejut. Dan benar, beberapa detik kemudian Tina mengejang-ngejang dan menjerit.
“Achhhh………………shhh…………..”
Aku langsung mendekap tubuh Tina yang masih mengejang. Aku peluk kuat-kuat. Aku tekan penisku yang melintang di atas memeknya, menyibak labia mayoranya. Aku putar-putar pantatku sambil menekan sekuat tenaga untuk memberikan kenikmatan tambahan. Waktu orgasmye cewek lebih merasakan kenikmatan kalau ditekan lebih besar daripada digesek. Sampai akhirnya dia melemas dan memejamkan mata. Aku ciumi pipinya. Sampai beberapa menit lamanya kami terdiam. Sementara penisku masih mengganjal di memeknya, membelah labia mayora sampai ke pusarnya. Penisku berkedut-kedut. Aku rasakan ada aliran basah sampai ke kantong testisku.
Perlahan Tina membuka matanya. Bibirnya yang merah menyunggingkan senyum.
“Mas Wiro luar biasa.”
“Belum Tina, itu baru permulaan. Akan ada yang lebih lagi.”
“Iya”, kembali dia memejamkan matanya, pasrah.
Aku membalik tubuh Tina agar menindihku. Dia mengerti. Lalu dia duduk dan menciumi bibirku, leherku. Dia menciumi hampir seluruh permukaan dada dan perutku. Dia menyedot-nyedot putingku. Oh nikmat sekali rasanya. Sementara Tina sengaja menggesek-gesek selangkangannya di atas penisku sehingga memberikan sensasi yang luar biasa. Sampai akhirnya tangan kanan Tina meraih penis itu. Penisku yang cokelat dan berurat itu digenggamnya, kontras dengan warna kulit tangannya yang kuning langsat. Kelihatannya dia sangat mengagumi itu. Dia menciumnya, menjilatinya. Sepertinya dia ragu untuk mengulumnya. Tidak apa-apa aku tidak akan memaksanya untuk mengemutnya. Mungkin dia juga belum terbiasa. Lama sekali Tina memain-mainkan penisku dengan lidah, bibir, dan tangannya. Sampai akhirnya dia kembali menindih tubuhku dan menciumi bibirku.
Aku balik tubuhnya. Aku kulum bibirnya. Aku remas-remas susunya. Tina mulai terangsang lagi. Kembali aku menghisap pentilnya, pusarnya, dan akhirnya memeknya. Dan sekali lagi gadis yang masih perawan ini menggelinjang dan mendisis-desis. Aku pikir ini saat yang tepat. Aku kangkangkan pahanya. Dia mengerti. Kedua tangannya menuntun penisku ke arah memeknya. Kepala penisku menempel di pintu masuk memeknya. Wow, ekstrim sekali. Kelihatannya penisku kebesaran untuk ukuran memek Tina yang mungil. Aku gosok-gosokan kepala penisku ke dua labianya, ke itilnya. Aku masukkan itil Tina ke lubang kecil di kepala penisku. Hehe… masuk juga ternyata. Sementara Tina mendisis-desis kenikmatan.
Pelan-pelan aku menekan kepala penisku. Bukannya masuk, memek Tina malah ikut terdorong. Aku tambah tenaganya, ternyata meleset. Kembali aku gosok-gosok memek Tina dengan kepala penisku, aku dorong lagi, meleset lagi. Itu sampai 6 kali. Akhirnya kembali aku hisap-hisap memeknya pakai mulutku. Kembali Tina mendesis. Aku mulai dari awal lagi, aku basahi kepala penisku dengan cairan memek Tina dan ditambah ludahku. Aku gosok-gosokkan kepalanya, kemudian aku tambah tenaga, meleset lagi. Aku gosok-gosok lagi, aku dorong lagi, akhirnya (yg ke tujuh) kepalanya masuk. Oh seret sekali rasanya. Sementara Tina masih mendesis-desis. Dia belum merasakan sakit. Aku tambah ludah lagi ke memeknya biar lebih licin. Aku tekan lagi pelan-pelan, mili demi mili, centi demi centi. Tiba-tiba tangan Tina menahan pahaku.
“Sakit Mas. Pelan-pelan.”
“Iya sayang aku pelan sekali. Tahan sedikit ya. Nanti kalau sudah masuk akan enak.”
Aku pindahkan tangannya yang menahan pahaku. Masih dalam posisi kepala penisku menekan lubang memeknya aku raih susunya dengan kedua tanganku aku remas-remas. Aku plintir-plintir putingnya. Setelah itu aku tekan lagi penisku. Kembali Tina menjerit dan meringis kesakitan. Kemudian aku tarik lagi penisku untuk memberikan waktu penyesuaian pada memeknya. Setelah itu aku dorong lagi. Kali ini lebih keras. Sambil aku terus meremas susunya, aku tekan pantatku agak kuat. Dan…
“Krekkk…….” terasa penisku menerobos sesuatu.
“Awww………. Shhh………. Sakit Maaaas………” Suara Tina menjerit. Tapi melemas di bagian akhirnya. Kedua matanya mengeluarkan air. Tina menangis. Aku rebahkan tubuhku di tubuhnya. Aku peluk dia kuat-kuat. Aku ciumi pipinya. Aku jilat air matanya yang mengalir di pipinya. Aku juga menggesek-gesek dadaku untuk memberikan rangsangan pada putingnya. Sementara aku membiarkan penisku yang baru masuk separuh di dalam memeknya. Kurang lebih 3 menit itu berlangsung. Sampai akhirnya Tina merasa tenang. Dengan lembut aku tatap wajahnya, aku belai rambutnya, dan aku kecup matanya.
“Tina, aku lanjutkan ya. Pelan sekali sayang…”
Bibir Tina mulai menyunggingkan senyum kembali, walaupun matanya masih berkaca-kaca. Aku kulum lagi bibirnya yang masih tersenyum. Sambil dalam posisi memeluk tubuhnya dan melumat bibirnya, aku mulai menarik penisku pelan, dan mendorongnya lagi. Aku tarik lagi. Aku dorong lagi. Senti demi senti penisku mulai masuk makin dalam. Aku terus menggenjot pelan dan halus. Beberapa saat kemudian Tina mulai mendesis lagi pertanda mulai menikmati. Sekarang aku coba untuk menancapkan lebih dalam lagi. Aku coba untuk duduk agar bisa melihat lebih jelas penisku yang menancap itu. Aku tarik penisku sampai tinggal kepalanya saja yang tertinggal. Dan dengan mantap dan pelan aku mendorongnya masuk sedalam-dalamnya. Ow… nikmat sekali, sempit dan peret. Akhirnya aku bisa melihat dengan jelas seluruh penisku yang besar, panjang, dan berotor itu masuk secara sempurna ke dalam memek Tina. Tina melenguh memejamkan mata. Dia benar-benar menikmati sensasi rupanya. Memek itu terlihat sangat penuh dan membengkak karena kepenuhan memuat seluruh batang penisku. Aku biarkan sejenak penisku merasakan hangatnya seluruh rongga dalam tubuh Tina. Kemudian dengan pelan aku tarik lagi penisku. Sruuuutt… tubuh Tina seolah ikut tertarik. Ketika hampir semuanya keluar kembali aku sodok pelan hingga masuk secara sempurna lagi. Begitu seterusnya. Penisku memompa memek Tina dengan pelan dan mantap. Tubuhnya turun naik mengikuti irama penisku. Dan setiap aku tusuk, bagian dari memeknya ikut masuk ke dalam. Begitu juga ketika aku tarik, bagian dari kulit dalam memeknya yang berwarna merah ikut ketarik. Aku melakukannya dengan sangat teratur dan pelan. Tina mulai mendesis-desis. Pandangan mataku tidak pernah lepas dari tubuh Tina yang mulus, dengan susu yang putih berguncang, wajah meringis dan kelihatan cantik sekali. Sementara penisku yang besar dan berotor menusuk amblas dalam memeknya yang merah, mengembang dan mengempot dengan dagingnya yang halus, licin tapi sangat peret. Hampir 10 menit aku bertahan dengan irama yang teratur dan pelan. Aku tidak mau menggunakan gaya yang macam-macam, belum saatnya.
Tubuh Tina menggeliat-geliat, matanya merem melek menahan sensasi. Susunya terguncang pelan dengan puting yang mencuat ke atas. Kepalanya terkulai ke kanan dan ke kiri. Sementara tangannya kadang memegang pantaku. Terkadang membelai-belai dan mencengkeram dadaku. Terkadang meremas-remas kasur menahan nikmat. Mulutnya terus mendesis seperti ular.
‘Ohh……… shhhhh………………, terus Mass……….”
“Iya sayang. Memek kamu enak bangettt………”
“Iya…….. shhhh………….”
Aku terus menggenjotnya. Penisku makin lancar masuk kedalam memeknya, amblas secara sempurna. Penisku sampai mengkilat, merah dan agak kebiru-biruan. Penis yang perkasa itu menyeruduk, menerobos lubang memek perawan Tina yang ranum, merah dan sempit. Makin lama rasanya semakin nikmat. Aku merasa pantatku bergerak sendiri secara mekanis. Kenikmatan telah mengambil alih kesadaranku dan dengan sendirinya menggerakkan dan memompakan penis yang perkasa itu ke dalam memek Tina. Aku seperti mesin, pantatku bergerak sendiri. Aku hanya menikmati dan menikmati. Tubuhku mulai meneteskan keringat dan jatuh membasahi kulit putih mulusnya Tina yang terus menggeliat dan merintihkan kenikmatan.
Setelah kurang lebih 15 menit aku merebahkan diri ke atas tubuh Tina. Aku peluk tubuhnya kuat-kuat. Aku dorong penisku hingga menancap dalam sekali. Tubuh Tina ikut terdorong ke atas. Aku terus menggenjot pantatku dengan irama yang tidak berubah. Tubuhku yang cokelat dengan tangan-tangan yang kekar seperti ular yang melilit tubuh Tina yang putih mulus, menggelutinya, menggumulinya dengan rakus dan buas. Tubuh Tina yang mungil itu seolah ditelan dalam tubuhku. Susunya terjepit di dadaku. Putingnya yang dari tadi mencuat kini mengkeret terjepit dan menggelitik di dadaku. Sementara pantatku tanpa henti menggenjot, memasukkan penis yang besar dan berurat kedalam memek Tina sedalam-dalamnya, menyodok-nyodok seluruh ruang dan permukaan kulitnya.
Aku mulai menambah variasi tusukanku. Sesekali ketika seluruh penisku ada dalam memek Tina, aku memutar-mutar pantatku, seperti mengebor, sambil menekannya dengan kuat. Sehingga penisku yang ada di dalam memeknya menggilas-gilas dan mengeruk-ngeruk permukaan kulit memeknya dari semua arah. Wow…….. nikmatnya luar biasa. Tubuh Tina sampai menggelinjang dan melutnya menjerit. Sementara jari-jari Tina mencakar-cakar punggungku. Aku terus mengulanginya dengan irama yang teratur. Aku tusuk dalam-dalam, kemudian aku putar, tarik lagi, tusuk biasa lagi. Begitu seterusnya. Irama itu membuat kenikmatan yang luar biasa. Tubuh kami yang sudah basah dengan keringat terus bergumul, saling lilit, saling rengkuh, seolah ingin mendapatkan kenikmatan sebanyak-banyaknya. Dua puluh menit berlalu dan kami terus bergumul tanpa istirahat sedetikpun. Penisku yang seperti tongkat perkasa dan berurat dengan setia menusuk-nusuk, mengobok-obok memek Tina tanpa ampun, benar-benar tanpa jeda.
“Maaaaas……………….. aku mau keluaaaarrrrr……….” jerit Tina terputus-putus.
“Tahan sayang. Kita keluar bersama-sama….”
Aku merasa tubuh Tina mengejang. Memeknya berkedut-kedut. Kepala penisku merasakan kedutan itu. Sementara ujung kenikmatanku juga sudah mulai sampai. Aku tusukkan dalam-dalam penisku sekuat tenaga sampai mentok rasanya. Kemudian aku putar-putar sehingga kepala penisku menggaruk-garuk isi memek Tina. Wow……nikmatnya luar biasa. Tubuhku menegang. Putaran pantatku berganti-ganti ke diri dan ke kanan, seperti gilingan.
“Ohhhh………….Achhh…………………” Tina menjerit sejadinya.
Tangannya mencengkeram punggungku. Tubuhnya mengejang-ngejang dan kelojotan. Sementara penisku yang panjang, besar, dan perkasa berputar-putar menggaruk-garuk isi memeknya. Aku tekan dan putar terus.
“Aghhrrrrrrrrrrr……………” aku mengerang seperti harimau lapar. Aku tekan penisku sekuat tenaga menancap dalam memek Tina dan menyemprotkan air mani yang banyak sekali.
Tubuhku dan tubuh Tina sama-sama mengejang, menggelinjang-gelinjang, melepaskan kenikmatan yang luar biasa. Kedutan demi kedutan terus menyerang memek Tina sehingga mencengkeram penisku yang terus menancap dan menekan dengan kuat. Hampir dua menit kami merasakan orgasme yang luar biasa itu. Sampai akhirnya tubuh kami terhempas di atas kasur. Kami terdiam, lunglai, lemas, dengan mandi keringat.
Lima menit berlalu kami masih terkulai. Aku masih menindih dan memeluk tubuh Tina. Penisku juga masih menancap dalam memeknya, menikmati sisa-sisa sensasi tadi. Aku gesek-gesekkan pipiku ke pipinya. Aku angkat wajahku. Tina mulai membuka mata. Matanya berkaca-kaca. Kembali aku kecup matanya. Aku belai pipinya. Aku seka beberapa helai rambutnya yang melekat di keningnya yang basah oleh keringat.
“Tina, menikahlah denganku”.
Tina hanya tersenyum, tapi matanya masih berkaca-kaca. Kami terus berciuman sambil sesekali berbicara dengan nada yang sangat lembut. Tapi Tina belum menjawab ajakanku.
Setelah setengah jam berpelukan dan beristirahat, kami terangsang kembali, sehingga untuk yang kedua kalinya kami bersetubuh, bergulat, merengkuh kenikmatan yang luar biasa. Malam itu aku menyetubuhi Tina tiga kali. Aku bisa mengantarkannya orgasme lima kali, enam kali dengan orgasme waktu foreplay.
Paginya kami bangun terlambat. Karena kasihan, aku menyarankan Tina untuk tidak masuk kerja. Aku antarkan dia ke kosnya, dan aku bilang ke teman-teman di toko kalau Tina tidak enak badan.
Sejak saat itu aku rutin bercinta dengan Tina. Makin lama Tina makin ahli. Kami melakukannya di hampir semua tempat. Pernah malam-malam ketika semua orang pulang dari toko aku bercinta dengan Tina di kursi dan meja kasir. Tapi semua pintu sudah aku kunci dari dalam. Saking hotnya, tangan Tina sampai menyenggol keramik vas bunga dan jatuh. Untuk menutup kecurigaan orang-orang malam itu juga aku cari kucing tetangga, terus aku kasih makanan di dalam toko, setelah itu aku kunci pintunya. Hehe, berhasil, semua orang mengira kucing itu yang menjatuhkan vas.
Hampir dua bulan berlalu. Tapi setiap kali aku ajak Tina untuk berbicara serius tentang hubungan kami dia mengalihkan pembicaraan pada yang lain. Aku bukan hanya menikmati hubungan badan dengan Tina tapi lebih dari itu, mungkin aku mulai mencintainya. Karena itu setiap bersetubuh aku selalu mengeluarkan spermaku di dalam. Selain itu sangat nikmat, kalaupun hamil, aku akan menikahi Tina.
Sampai suatu hari (hari Minggu) Tina mengajakku lari pagi ke hutan UI di depok. Di jalan setapak dalam hutan itu, sambil duduk santai, Tina mengatakan bahwa dia sebenarnya telah dijodohkan oleh orang tuanya. Aku sangat terkejut dan benar-benar tidak mengira. Tina menangis dalam pelukanku sambil minta maaf karena telah memberi peluang kepadaku. Karena itu dia tidak pernah mau menjawab ajakanku untuk menikah.
“Aku akan datang ke orang tuamu. Dan apapun persyaratannya, akan aku penuhi asal aku bisa menikahimu”. Aku berusaha meyakinkan Tina.
Tina tetap diam dan memelukku. Aku belai rambutnya, aku ciumi rambutnya. Ini ternyata jawaban mengapa Tina selalu menghindar kalau aku ajak bicara serius. Akhirnya kami pulang dengan pikiran tidak jelas. Aku tidak mau memaksa Tina untuk menyetujui ideku. Sampai di kos, dengan nada yang halus aku kembali membuka pembicaraan. Aku berharap bisa menambah semangatnya.
“Tina, aku akan lakukan apa pun agar orang tuamu setuju kita menikah. Kita tidak akan lari. Kita akan hadapi mereka.”
Akhirnya Tina mau berbicara.
“Mas Wiro, aku bukan dinikahkan paksa! Aku dijodohkan karena aku menyetujuinya. Itu sudah 3 tahun yang lalu. Aku tidak mau mengecewakan orang tuaku, dan Mas Hardi”.
“Jadi……….” aku agak gugup.
“Aku mencintai Mas Hardi, calon suamiku”.
Aku lepaskan pelukanku. Aku tatap matanya lekat-lekat.
“Aku mencintai Mas Hardi. Tapi sejak ketemu kamu, aku juga menyukaimu. Aku tidak bohong, please….. mengertilah”.
Aku tidak bisa berbicara. Aku diam. Aku mengalihkan pandangaku ke segala arah. Nafasku turun naik. Tiba-tiba Tina menubrukku, menciumiku, dan menggumuli aku di kasur. Dia duduk di perutku sambil kedua tangannya memegang tanganku.
“Mas Wiro, aku mencintai kamu. Karena itu aku rela menyerahkan keperawananku. Tapi aku tidak bisa menikah denganmu. Karena aku tidak mau mengecewakan calon suamiku. Aku juga mencintainya.”
Aku tidak bisa berpikir. Dan aku memang benar-benar tidak punya kesempatan lagi untuk berpikir. Karena beberapa detik setelah menyelesaikan kalimatnya, Tina memelukku, mencium dan melumat bibirku. Dia tanggalkan seluruh bajunya dan bajuku. Tina seperti singa lapar. Dia memperkosaku!
Hari-hari berikutnya berlalu dengan hampa. Aku lebih sering menyendiri, merenung dan mencari-cari logika yang pas yang dengan itu aku bisa menerima jalan pikiran Tina. Sampai akhirnya aku putuskan untuk berpikir sederhana, sesederhana pikiran Tina. Nikmatilah cinta, walau sesaat, sebelum dia pergi.
Aku menyesal telah melewatkan beberapa hari ini tanpa Tina. Aku langsung bergegas menuju kosnya. Aku ajak Tina pergi ke puncak, karena waktunya tinggal 3 hari lagi sebelum dia harus pulang ke Bandung. Tina setuju. Aku minta cuti ke bosku dan bilang mau mengantarkan Tina ke tempat saudaranya di Sukabumi, setelah itu langsung ke Bandung.
Aku ambil seluruh uang tabunganku. Kami menginap di sebuah vila yang agak jauh dari jalan di Cipanas. Siang itu aku ajak Tina berjalan-jalan di kebun teh, main kejar-kejaran seperti film-film India. Malamnya kami istirahat, dan tentu saja, bercinta. Aku rebahkan tubuh putih mulus Tina di kasur dengan posisi telentang dan kaki lurus merapat. Aku jilati seluruh permukaan kulitnya, senti demi senti, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku nikmati seluruh permukaan kulitnya seperti anak kecil yang menjilati permen yang sangat besar. Untuk menambah sensasi aku lumurkan madu yang telah aku siapkan (satu botol besar) sebelumnya di seluruh permukaan kulitnya. Hal yang sama juga dilakukan Tina pada seluruh tubuhku. Hampir satu jam itu berlangsung. Tubuh kami mengkilat, basah oleh madu bercampur air liur.
Kemudian kami bergumul. Nikmat sekali rasanya, karena tubuh kami sama-sama licin ditambah bau harum madu. Tak henti-hentinya aku mengusap punggung dan pantat Tina karena nikmat, sambil terus menggumulinya, melumat bibirnya. Aku selalu menambahkan madu pada puting susu Tina, karena tempat itu paling sering aku sedot. Puas bergumul aku membalikkan tubuh Tina. Aku suruh nungging. Aku gosok-gosokkan kepala penisku ke mulut memek Tina yang mancung. Aku gesek-gesek kepalanya searah belahan labianya. Kemudian, dengan pelan aku dorong.
“Uhhhh……………” Tina melenguh, merasakan senti demi senti kepala penisku yang menyeruak menyusuri kulit memeknya, merenggangkan otot-otot dalam vaginanya secara bergilir dan meninggalkan guratan yang sangat nikmat per milimeter pada dinding-dinding itu.
Akupun mendesis menahan nikmat. Tusukan pertama selalu memberi kenikmatan pembuka yang luar biasa. Perbandingannya kurang lebih sama dengan orang yang minum es waktu haus. Tegukan pertama memberikan kenikmatan yang akan selalu diingat sampai seluruh minuman itu habis.
Selanjutnya aku menusukkan penisku yang besar dan berurat itu secara teratur mendorong dan menancap di tengah memek Tina dengan sangat indahnya. Memek Tina seperti gunung yang kawahnya ditancap dengan paku raksasa, didorong dan ditarik dengan teratur, dikocok-kocok, sampai air kawahnya keluar merembes, membasahi seluruh permukaan gunung. Penisku sampai mengkilat dan biru dibasahi oleh cairan memek Tina.
Seperti biasa, aku kocok terus memek Tina tanpa jeda dengan irama yang nyaris tidak berubah. Tak ada yang terlintas dalam pikiranku keculali rangsangan-rangsangan yang menggelitik di seluruh permukaan batang penisku. Rangsangan-rangsangan itu makin lama makin menguasai otakku sampai akhirnya menggerakkah seluruh tubuhku secara mekanis. Seolah kesadaranku tidak berfungsi. Rangsangan itu secara langsung menggerakkan pantatku, menancapkan penis besarnya, menusuk-nusukkannya tanpa henti, tanpa sedikitpun memberikan kesempatan pada kesadaranku untuk ambil bagian. Setiap tusukanku selalu direspon oleh rintihan Tina yang menggetarkan kelakianku. Rintihan-rintihannya menyelimuti seluruh ruangan. Aku lihat di kaca tubuh putih mulus Tina berguncang-guncang, susunya bergelayutan menggapai-gapai, didorong oleh penisku yang menancap mantap di memeknya. Sesekali tubuhku yang besar dan cokelat memeluknya dengan kuat, menelan tubuh mungilnya, dan menusukkan penis yang perkasa, mengirimkan hunjaman kenikmatan yang luar biasa sampai ke dasar memeknya. Sampai 17 menit itu berlangsung sampai kakiku pegal.
Kemudian aku tarik tubuh Tina dengan berpegang pada susunya. Aku berbaring, Tina duduk di atas penisku yang masih menancap. Kemudian dia mulai menggoyang-goyangkan pantatnya sambil sesekali memutarnya. Penisku beputar dalam rahimnya. Wow, luar biasa rasanya. Dengan gerakan seperti itu penisku benar-benar mengaduk-aduk seluruh isi rahimnya, mengurat seluruh permukaannya. Tina sampai menggelinjang dan memejamkan mata manikmati guratan-guratan itu. Sesekali Tina merendahkan dadanya, sehingga mencapai mulutku. Sementara penisku mengobok-obok memeknya aku lumat putingnya dengan mulutku, aku hisap-hisap.
“Acchhhhhhhh……………………”, Tina melenguh dan menjerit. Dia menghempaskan tubuhnya ke dadaku. Aku remas-remas susunya sambil aku tusuk memeknya dengan penisku melanjutkan irama goyangan Tina yang sampat terhenti. Aku ambil alih kendali. Aku balik tubuh Tina. Aku kangkangkan dia. Memeknya yang merah dan basah menggunduk, sangat menantang. Aku segera mengarahkan kepala penisku, dan dengan mantap aku menancapkannya secara sempurna.
“Ughhhh……………………………”, kembali Tina melenguh, merasakan seluruh batang penisku yang amblas ke dalam memeknya.
Aku segera memompanya dengan kuat dan dalam. Setiap pompaan selalu aku dorong dengan tenaga sehingga penisku menancap dengan sempurna. Selangkangan Tina sampai bertumpu pada selangkanganku. Penisku benar-benar menancap dalam, dan mentok. Kantong pelirku mengganjal ke anusnya. Rintihan dam desahan Tina semakin keras, mengimbangi hentakan-hentakan pantatku yang juga semakin cepat dan bertenaga. Kepala Tina bergoyang ke kanan dan ke kiri, sementara wajahnya meringis mengapresiasikan kenikmatan yang luar biasa di dalam memeknya. Aku terus memompa, menggenjot, dengan kuat dan cepat. Tubuh kami sudah basah oleh keringat bercampur madu.
Sesekali aku memeluk tubuh Tina, merengkuhnya. Sementara pantatku terus mengenjot dan menusukkan penis yang besar ke dasar vaginanya. Bagiku waktu semakin tidak berarti. Aku sudah tidak ingat bagaimana posisi kami. Yang jelas kami terus bergumul dan bergumul. Mungkin yang lebih tepat aku menggumulinya dan merengkuhnya. Karena tubuhku yang besar dan cokelat itu hampir-hampir menelan seluruh tubuh Tina yang mungil dan putih mulus, membuatnya seperti cacing yang menggeliat-geliat dalam genggaman tangan yang perkasa. Dengan erangan-erangannya, aku tahu Tina merasakan kenikmatan yang luar biasa, kenikmatan tubuh mulusnya yang direngkuh kuat dan perkasa, kenikmatan vaginanya yang seret yang ditembus dan diobok-obok oleh penis yang besar, panjang, dan berurat. Kenikmatan itu menyatu dalam dirinya, menyatu dalam jiwanya, membuatnya setengah sadar setengah tidak, mengerang, menjerit, mengekspresikan kenikmatan yang meluap, dan meletup dalam dirinya. Tubuh mulus Tina seolah meledak menahan kuatnya kenikmatan itu. Tubuh putih mulus Tina menggeliat-geliat, berguncang, dan luluh oleh kenikmatan.
Waktu berjalan terus, sementara tubuh kami terus bergumul tanpa henti. Ruangan itu menjadi bergelora oleh nafsu yang terus bergolak dan memuncak dalam dua tubuh yang bergumul itu. Hampir seluruh sprei basah oleh keringat dan madu. Sampai akhirnya, dengan posisiku di atas, aku merasakan memek Tina berdenyut. Sementara penisku juga sudah merasakan aliran nikmat di ujungnya. Tina menjerit keras.
“Aaaccchhhhhhhhhhhhh………………………… ………………………………………” begitu keras jeritannya, melengking menelan semua suara hentakan tubuhku di tubuhnya.
Aku dorong sekuat tenaga hingga penisku menancap, menembus memek Tina. Aku ucek-ucek pantatku, menekan dan menancapkan penis itu dengan sepenuh tenaga. Denyutan-denyutan penisku membuat tenagaku berlipat. Tubuh Tina tenggelam dalam kasur karena begitu kuatnya dorongan pantatku. Denyutan demi denyutan terus melanda penisku, membuat kenikmatan yang luar biasa itu tumpah, seperti air bah, menghilangkan seluruh kesadaranku, dan merubahnya menjadi tenaga yang aku tancapkan terus ke dasar memek Tina. Aku meraung seperti harimau lapar yang sedang melumat Tubuh mulus Tina yang sedang kejang dalam orgasmenya. Raunganku seperti sahutan terhadap jeritan Tina yang melengking.
Semprotan spermaku muncrat dalam memek Tina, membasahi dan mengguyur dasar rahimnya, sementara penisku mendorongnya dengan sangat kuat, mengantarkan kenikmatan sampai ke ulu hatinya.
Ruangan seperti gelap. Aku berusaha membuka mata. Tapi tidak ada yang terlihat. Semuanya tetap gelap. Aku tidak bisa merasakan apa-apa selain kedutan di penisku yang membuat seluruh tubuhku mengejang. Sementara tubuh Tina juga mengejang, menghentak-hentak, kelojotan seperti cacing kepanasan.
Sampai akhirnya tubuh kami terhempas. Aku terus merengkuh tubuh Tina yang sudah lemas, seolah tidak rela kenikmatan itu pergi. Penisku masih menancap dan sesekali berkedut. Dua tubuh itu lunglai di atas sprei yang acak-acakan, penuh dengan keringat dan sisa-sisa madu.
Malam itu aku bercinta dengan Tina sampai tengah malam. Itupun terpaksa aku hentikan karena Tina pingsan. Sambil penisku masih menancap dalam memeknya aku tertidur. Pagi harinya kami tidak bisa bangun. Akhirnya kami istirahat total dan memanggil tukung pijit dan minum jamu. Malam kedua kami bercinta kembali, tapi tidak sedahsyat malam pertama. Malam ketiga kami bercinta habis-habisan. Aku minum viagra. Sementara Tina minum jamu tradisional. Tengah malam Tina pingsan lagi. Tapi tak lama kemudian dia sadar. Dia membangunkan aku.
“Malam ini malam terakhir. Habiskanlah aku. Rengkuhlah tubuhku sekuatmu, sepuasmu. Remukkanlah seluruh tulang-tulangku dengan nafsumu. Puaskanlah aku…..”
Tanpa menjawab aku langsung merengkuhnya. Kembali kami bergumul. Kali ini aku lebih banyak bekerja agar Tina tidak pingsan lagi. Entah berapa lama kami bergumul sampai akhirnya tiba-tiba hari telah terang. Tina duduk di sebelahku menyodorkan kopi.
“Semalam kamu pingsan. Tapi tidak apa-apa. Tadi malam adalah malam paling memuaskan dalam hidupku”, sambil berkata Tina menyuapkan roti yang dari tadi dimakannya.
Begitu kopi dan roti itu habis, aku tarik tubuh Tina. Aku tanggalkan seluruh bajunya. Kembali aku menyetubuhi gadis itu. Aku tidak mau kehilangan sedikitpun waktu. Aku menyetubuhi gadis ini dengan rakus, menggelutinya, melumat tubuhnya, mengoyak-oyak memeknya dengan penisku yang masih perkasa, dan meremukkan tulang-tulangnya. Sampai akhirnya kami terhempas entah yang keberapa kalinya.
Siangnya kami mandi bersama. Setelah itu aku mengantarnya ke Bandung. Sepanjang perjalanan Tina tertidur. Aku tidak bisa tidur. Kebiasaannku kalau capek teramat sangat. Menjelang Maghrib kami sampai di terminal. Selanjutnya Tina berangkat sendiri menumpang angkot. Dia tidak mengijinkan aku ikut agar tidak ada yang curiga. Sebelum pulang Tina bilang kalau ada waktu dia ingin bertemu kembali denganku. Tentu aku menyetujuinya. Dia berjanji jika ada kesempatan akan menelponku. Tentu, tentu aku akan datang ke Bandung dan menyetubuhinya. Dengan catatan jika suaminya sedang keluar kota.
















Titipan Khusus


Namaku Karina, usiaku 17 tahun dan aku adalah anak kedua dari pasangan Menado-Sunda. Kulitku putih, tinggi sekitar 168 cm dan berat 50 kg. Rambutku panjang sebahu dan ukuran dada 36B. Dalam keluargaku, semua wanitanya rata-rata berbadan seperti aku, sehingga tidak seperti gadis-gadis lain yang mendambakan tubuh yang indah sampai rela berdiet ketat. Di keluarga kami justru makan apapun tetap segini-segini saja.

Suatu sore dalam perjalanan pulang sehabis latihan cheers di sekolah, aku disuruh ayah mengantarkan surat-surat penting ke rumah temannya yang biasa dipanggil Om Robert. Kebetulan rumahnya memang melewati rumah kami karena letaknya di kompleks yang sama di perumahan elit selatan Jakarta.

Om Robert ini walau usianya sudah di akhir kepala 4, namun wajah dan gayanya masih seperti anak muda. Dari dulu diam-diam aku sedikit naksir padanya. Habis selain ganteng dan rambutnya sedikit beruban, badannya juga tinggi tegap dan hobinya berenang serta tenis. Ayah kenal dengannya sejak semasa kuliah dulu, oleh sebab itu kami lumayan dekat dengan keluarganya.

Kedua anaknya sedang kuliah di Amerika, sedang istrinya aktif di kegiatan sosial dan sering pergi ke pesta-pesta. Ibu sering diajak oleh si Tante Mela, istri Om Robert ini, namun ibu selalu menolak karena dia lebih senang di rumah.

Dengan diantar supir, aku sampai juga di rumahnya Om Robert yang dari luar terlihat sederhana namun di dalam ada kolam renang dan kebun yang luas. Sejak kecil aku sudah sering ke sini, namun baru kali ini aku datang sendiri tanpa ayah atau ibuku. Masih dengan seragam cheers-ku yang terdiri dari rok lipit warna biru yang panjangnya belasan centi diatas paha, dan kaos ketat tanpa lengan warna putih, aku memencet bel pintu rumahnya sambil membawa amplop besar titipan ayahku.

Ayah memang sedang ada bisnis dengan Om Robert yang pengusaha kayu, maka akhir-akhir ini mereka giat saling mengontak satu sama lain. Karena ayah ada rapat yang tidak dapat ditunda, maka suratnya tidak dapat dia berikan sendiri.

Seorang pembantu wanita yang sudah lumayan tua keluar dari dalam dan membukakan pintu untukku. Sementara itu kusuruh supirku menungguku di luar.

Ketika memasuki ruang tamu, si pembantu berkata, “Tuan sedang berenang, Non. Tunggu saja di sini biar saya beritahu Tuan kalau Non sudah datang.”

“Makasih, Bi.” jawabku sambil duduk di sofa yang empuk.

Sudah 10 menit lebih menunggu, si bibi tidak muncul-muncul juga, begitu pula dengan Om Robert. Karena bosan, aku jalan-jalan dan sampai di pintu yang ternyata menghubungkan rumah itu dengan halaman belakang dan kolam renangnya yang lumayan besar. Kubuka pintunya dan di tepi kolam kulihat Om Robert yang sedang berdiri dan mengeringkan tubuh dengan handuk.

“Ooh..” pekikku dalam hati demi melihat tubuh atletisnya terutama bulu-bulu dadanya yang lebat, dan tonjolan di antara kedua pahanya.

Wajahku agak memerah karena mendadak aku jadi horny, dan payudaraku terasa gatal. Om Robert menoleh dan melihatku berdiri terpaku dengan tatapan tolol, dia pun tertawa dan memanggilku untuk menghampirinya.

“Halo Karin, apa kabar kamu..?” sapa Om Robert hangat sambil memberikan sun di pipiku.

Aku pun balas sun dia walau kagok, “Oh, baik Om. Om sendiri apa kabar..?”

“Om baik-baik aja. Kamu baru pulang dari sekolah yah..?” tanya Om Robert sambil memandangku dari atas sampai ke bawah.

Tatapannya berhenti sebentar di dadaku yang membusung terbungkus kaos ketat, sedangkan aku sendiri hanya dapat tersenyum melihat tonjolan di celana renang Om Robert yang ketat itu mengeras.

“Iya Om, baru latihan cheers. Tante Mella mana Om..?” ujarku basa-basi.

“Tante Mella lagi ke Bali sama teman-temannya. Om ditinggal sendirian nih.” balas Om Robert sambil memasang kimono di tubuhnya.

“Ooh..” jawabku dengan nada sedikit kecewa karena tidak dapat melihat tubuh atletis Om Robert dengan leluasa lagi.

“Ke dapur yuk..!”

“Kamu mau minum apa Rin..?” tanya Om Robert ketika kami sampai di dapur.

“Air putih aja Om, biar awet muda.” jawabku asal.

Sambil menunggu Om Robert menuangkan air dingin ke gelas, aku pindah duduk ke atas meja di tengah-tengah dapurnya yang luas karena tidak ada bangku di dapurnya.

“Duduk di sini boleh yah Om..?” tanyaku sambil menyilangkan kaki kananku dan membiarkan paha putihku makin tinggi terlihat.

“Boleh kok Rin.” kata Om Robert sambil mendekatiku dengan membawa gelas berisi air dingin.

Namun entah karena pandangannya terpaku pada cara dudukku yang menggoda itu atau memang beneran tidak sengaja, kakinya tersandung ujung keset yang berada di lantai dan Om Robert pun limbung ke depan hingga menumpahkan isi gelas tadi ke baju dan rokku.

“Aaah..!” pekikku kaget, sedang kedua tangan Om Robert langsung menggapai pahaku untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

“Aduh.., begimana sih..? Om nggak sengaja Rin. Maaf yah, baju kamu jadi basah semua tuh. Dingin nggak airnya tadi..?” tanya Om Robert sambil buru-buru mengambil lap dan menyeka rok dan kaosku.

Aku yang masih terkejut hanya diam mengamati tangan Om Robert yang berada di atas dadaku dan matanya yang nampak berkonsentrasi menyeka kaosku. Putingku tercetak semakin jelas di balik kaosku yang basah dan hembusan napasku yang memburu menerpa wajah Om Robert.

“Om.. udah Om..!” kataku lirih.

Dia pun menoleh ke atas memandang wajahku dan bukannya menjauh malah meletakkan kain lap tadi di sampingku dan mendekatkan kembali wajahnya ke wajahku dan tersenyum sambil mengelus rambutku.

“Kamu cantik, Karin..” ujarnya lembut.

Aku jadi tertunduk malu tapi tangannya mengangkat daguku dan malahan menciumku tepat di bibir. Aku refleks memejamkan mata dan Om Robert kembali menciumku tapi sekarang lidahnya mencoba mendesak masuk ke dalam mulutku. Aku ingin menolak rasanya, tapi dorongan dari dalam tidak dapat berbohong. Aku balas melumat bibirnya dan tanganku meraih pundak Om Robert, sedang tangannya sendiri meraba-raba pahaku dari dalam rokku yang makin terangkat hingga terlihat jelas celana dalam dan selangkanganku.

Ciumannya makin buas, dan kini Om Robert turun ke leher dan menciumku di sana. Sambil berciuman, tanganku meraih pengikat kimono Om Robert dan membukanya. Tanganku menelusuri dadanya yang bidang dan bulu-bulunya yang lebat, kemudian mengecupnya lembut. Sementara itu tangan Om Robert juga tidak mau kalah bergerak mengelus celana dalamku dari luar, kemudian ke atas lagi dan meremas payudaraku yang sudah gatal sedari tadi.
Aku melenguh agak keras dan Om Robert pun makin giat meremas-remas dadaku yang montok itu. Perlahan dia melepaskan ciumannya dan aku membiarkan dia melepas kaosku dari atas. Kini aku duduk hanya mengenakan bra hitam dan rok cheersku itu. Om Robert memandangku tidak berkedip. Kemudian dia bergerak cepat melumat kembali bibirku dan sambil french kissing, tangannya melepas kaitan bra-ku dari belakang dengan tangannya yang cekatan.

Kini dadaku benar-benar telanjang bulat. Aku masih merasa aneh karena baru kali ini aku telanjang dada di depan pria yang bukan pacarku. Om Robert mulai meremas kedua payudaraku bergantian dan aku memilih untuk memejamkan mata dan menikmati saja. Tiba-tiba aku merasa putingku yang sudah tegang akibat nafsu itu menjadi basah, dan ternyata Om Robert sedang asyik menjilatnya dengan lidahnya yang panjang dan tebal. Uh.., jago sekali dia melumat, mencium, menarik-narik dan menghisap-hisap puting kiri dan kananku.

Tanpa kusadari, aku pun mengeluarkan erangan yang lumayan keras, dan itu malah semakin membuat Om Robert bernafsu.

“Oom.. aah.. aaah..!”

“Rin, kamu kok seksi banget sih..? Om suka banget sama badan kamu, bagus banget. Apalagi ini..” godanya sambil memelintir putingku yang makin mencuat dan tegang.

“Ahh.., Om.. gelii..!” balasku manja.

“Sshh.. jangan panggil ‘Om’, sekarang panggil ‘Robert’ aja ya, Rin. Kamu kan udah gede..” ujarnya.

“Iya deh, Om.” jawabku nakal dan Om Robert pun sengaja memelintir kedua putingku lebih keras lagi.

“Eeeh..! Om.. eh Robert.. geli aah..!” kataku sambil sedikit cemberut namun dia tidak menjawab malahan mencium bibirku mesra.

Entah kapan tepatnya, Om Robert berhasil meloloskan rok dan celana dalam hitamku, yang pasti tahu-tahu aku sudah telanjang bulat di atas meja dapur itu dan Om Robert sendiri sudah melepas celana renangnya, hanya tinggal memakai kimononya saja. Kini Om Robert membungkuk dan jilatannya pindah ke selangkanganku yang sengaja kubuka selebar-lebarnya agar dia dapat melihat isi vaginaku yang merekah dan berwarna merah muda.

Kemudian lidah yang hangat dan basah itu pun pindah ke atas dan mulai mengerjai klitorisku dari atas ke bawah dan begitu terus berulang-ulang hingga aku mengerang tidak tertahan.

“Aeeh.. uuh… Rob.. aawh.. ehh..!”

Aku hanya dapat mengelus dan menjambak rambut Om Robert dengan tangan kananku, sedang tangan kiriku berusaha berpegang pada atas meja untuk menopang tubuhku agar tidak jatuh ke depan atau ke belakang.

Badanku terasa mengejang serta cairan vaginaku terasa mulai meleleh keluar dan Om Robert pun menjilatinya dengan cepat sampai vaginaku terasa kering kembali. Badanku kemudian direbahkan di atas meja dan dibiarkannya kakiku menjuntai ke bawah, sedang Om Robert melebarkan kedua kakinya dan siap-siap memasukkan penisnya yang besar dan sudah tegang dari tadi ke dalam vaginaku yang juga sudah tidak sabar ingin dimasuki olehnya.

Perlahan Om Robert mendorong penisnya ke dalam vaginaku yang sempit dan penisnya mulai menggosok-gosok dinding vaginaku. Rasanya benar-benar nikmat, geli, dan entah apa lagi, pokoknya aku hanya memejamkan mata dan menikmati semuanya.

“Aaww.. gede banget sih Rob..!” ujarku karena dari tadi Om Robert belum berhasil juga memasukkan seluruh penisnya ke dalam vaginaku itu.

“Iyah.., tahan sebentar yah Sayang, vagina kamu juga sempitnya.. ampun deh..!”

Aku tersenyum sambil menahan gejolak nafsu yang sudah menggebu.

Akhirnya setelah lima kali lebih mencoba masuk, penis Om Robert berhasil masuk seluruhnya ke dalam vaginaku dan pinggulnya pun mulai bergerak maju mundur. Makin lama gerakannya makin cepat dan terdengar Om Robert mengerang keenakan.

“Ah Rin… enak Rin.. aduuuh..!”

“Iii.. iyaa.. Om.. enakk.. ngentott.. Om.. terusss.. eehh..!” balasku sambil merem melek keenakan.

Om Robert tersenyum mendengarku yang mulai meracau ngomongnya. Memang kalau sudah begini biasanya keluar kata-kata kasar dari mulutku dan ternyata itu membuat Om Robert semakin nafsu saja.

“Awwh.. awwwh.. aah..!” orgasmeku mulai lagi.

Tidak lama kemudian badanku diperosotkan ke bawah dari atas meja dan diputar menghadap ke depan meja, membelakangi Om Robert yang masih berdiri tanpa mencabut penisnya dari dalam vaginaku. Diputar begitu rasanya cairanku menetes ke sela-sela paha kami dan gesekannya benar-benar nikmat.

Kini posisiku membelakangi Om Robert dan dia pun mulai menggenjot lagi dengan gaya doggie style. Badanku membungkuk ke depan, kedua payudara montokku menggantung bebas dan ikut berayun-ayun setiap kali pinggul Om Robert maju mundur. Aku pun ikut memutar-mutar pinggul dan pantatku. Om Robert mempercepat gerakannya sambil sesekali meremas gemas pantatku yang semok dan putih itu, kemudian berpindah ke depan dan mencari putingku yang sudah sangat tegang dari tadi.

“Awwh.. lebih keras Om.. pentilnya.. puterrr..!” rintihku dan Om Robert serta merta meremas putingku lebih keras lagi dan tangan satunya bergerak mencari klitorisku.

Kedua tanganku berpegang pada ujung meja dan kepalaku menoleh ke belakang melihat Om Robert yang sedang merem melek keenakan. Gila rasanya tubuhku banjir keringat dan nikmatnya tangan Om Robert di mana-mana yang menggerayangi tubuhku.

Putingku diputar-putar makin keras sambil sesekali payudaraku diremas kuat. Klitorisku digosok-gosok makin gila, dan hentakan penisnya keluar masuk vaginaku makin cepat. Akhirnya orgasmeku mulai lagi. Bagai terkena badai, tubuhku mengejang kuat dan lututku lemas sekali. Begitu juga dengan Om Robert, akhirnya dia ejakulasi juga dan memuncratkan spermanya di dalam vaginaku yang hangat.

“Aaah.. Riin..!” erangnya.

Om Robert melepaskan penisnya dari dalam vaginaku dan aku berlutut lemas sambil bersandar di samping meja dapur dan mengatur napasku. Om Robert duduk di sebelahku dan kami sama-sama masih terengah-engah setelah pertempuran yang seru tadi.

“Sini Om..! Karin bersihin sisanya tadi..!” ujarku sambil membungkuk dan menjilati sisa-sisa cairan cinta tadi di sekitar selangkangan Om Robert.

Om Robert hanya terdiam sambil mengelus rambutku yang sudah acak-acakan. Setelah bersih, gantian Om Robert yang menjilati selangkanganku, kemudian dia mengumpulkan pakaian seragamku yang berceceran di lantai dapur dan mengantarku ke kamar mandi.

Setelah mencuci vaginaku dan memakai seragamku kembali, aku keluar menemui Om Robert yang ternyata sudah memakai kaos dan celana kulot, dan kami sama-sama tersenyum.

“Rin, Om minta maaf yah malah begini jadinya, kamu nggak menyesal kan..?” ujar Om Robert sambil menarik diriku duduk di pangkuannya.

“Enggak Om, dari dulu Karin emang senang sama Om, menurut Karin Om itu temen ayah yang paling ganteng dan baik.” pujiku.

“Makasih ya Sayang, ingat kalau ada apa-apa jangan segan telpon Om yah..?” balasnya.

“Iya Om, makasih juga yah permainannya yang tadi, Om jago deh.”

“Iya Rin, kamu juga. Om aja nggak nyangka kamu bisa muasin Om kayak tadi.”

“He.. he.. he..” aku tersipu malu.

“Oh iya Om, ini titipannya ayah hampir lupa.” ujarku sambil buru-buru menyerahkan titipan ayah pada Om Robert.

“Iya, makasih ya Karin sayang..” jawab Om Robert sambil tangannya meraba pahaku lagi dari dalam rokku.

“Aah.. Om, Karin musti pulang nih, udah sore.” elakku sambil melepaskan diri dari Om Robert.

Om Robert pun berdiri dan mencium pipiku lembut, kemudian mengantarku ke mobil dan aku pun pulang.

Di dalam mobil, supirku yang mungkin heran melihatku tersenyum-senyum sendirian mengingat kejadian tadi pun bertanya.

“Non, kok lama amat sih nganter amplop doang..? Ditahan dulu yah Non..?”

Sambil menahan tawa aku pun berkata, “Iya Pak, dikasih ‘wejangan’ pula..”

Supirku hanya dapat memandangku dari kaca spion dengan pandangan tidak mengerti dan aku hanya membalasnya dengan senyuman rahasia. He..he..he..
















Cerita di Tempat Kursus


Hari itu hujan rintik-rintik di awal tahun 2001, aku bersama temanku berniat mendaftarkan diri di sebuah tempat bimbingan belajar yang katanya paling berkualitas di kota kami untuk persiapan UMPTN 2001. Sesampainya di sana aku dan temanku disambut seseorang di tangga.
Dia berkata, “Mo mendaftar yah Dek..? Kalo mau mendaftar di atas.”
Dia kelihatan agak dewasa dari yang lainnya yang ada di sana. Belakangan aku tahu dia tentor kelas IPA yang juga mengajarku di kelas, sangat kebetulan yah.

Tidak cakep sih kakak itu, namun rayuannya membuatku sangat tersanjung. Dan wibawa serta senyumannya sangat membuatku terkesima, apalagi saat ia menjelaskan terlihat sekali kecerdasannya terpancar. Aku semakin kagum melihatnya. Dari hari ke hari kami semakin akrab. Aku pun biasa diantarnya pulang, kami pun sering ngobrol bersama tentang masalah kami karena kami juga sudah saling terbuka bahkan menyangkut cerita pribadi kami. Kami juga seringbercanda. Ia pun sesekali menyentuhku, sehingga aku merasakan sesuatu yang lain dalam sentuhannya yang begitu lembut dan mesranya.

Sampai pada suatu hari dia mengajakku nonton dan aku pun menerima ajakan itu. Kami pun pergi sekitar jam 7 malam ke twenty one. Saat film tengah diputar, ia tidak henti-hentinya melihatku. Aku pura-pura serius nonton, tapi aku sebenarnya juga melihatnya. Kemudian ia mulai berani memegang tanganku, aku pun membiarkannya dan ia pun berkata, “Kakak sayang kamu.”
Serr.., rasanya aku tersambar petir asmara dan tidak kuasa menolaknya, apalagi ketika ia mulai berani menyandarkan kepalanya di bahuku dan meletakkan tangannya di pahaku. Aku semakin tidak kuasa menepisnya.

Kemudian ia pun memandangku sejenak dan langsung menyambar bibirku, aku pun menyambutnya dengan mesra. Lidah kami saling bertautan dan aroma nafas kami saling memburu mereguk nikmatnya air liur kami yang saling kami tukarkan. Kebetulan di sederetan kursi kami duduk tidak ada orang, jadi tidak ada yang melihat aktivitas kami ini. Baru sekali ini saya melakukan hal seperti ini di bioskop, bahkan sama pacar saya yang jauh lebih cakep dari kakak tentor saya ini saya tidak pernah melakukannya. Itulah sebabnya saya sangat menikmatinya.

Kakak saya yang satu ini pun semakin berani mengelus-elus paha mulusku yang kuning langsat itu,dan dia berkata, “Paha kamu mulus yah.., Kakak jadi tambah sayang sama kamu.”
Kebetulan rok yang kupakai saat itu memang mendukung, sebuah rok biru pendek selulut namun ada belahannya yang menyebabkan tangan kakakku ini mudah menyusup masuk mencari kehangatan cinta di antara dua pahaku.
Namun karena malu aku pun menahan tangannya, dan berkata, “Jangan Kak.”
Ia pun tidak memperhatikan kata-kataku, dan tangannya terus memaksa masuk.

Sekarang celana dalamku bagian paha dalam sudah ia raih. Sedikit lagi ia tarik, maka ia akan mendapatkan kemaluanku yang sudah basah ini.
Ia berkata, “De.., nggak pa-pa kok, enak deh, masa nggak percaya sih sama Kakak. Ya Yang… ya..!”
Aku pun tetap bertahan untuk tidak memberikan apa yang ia mau, namun tenaganya lebih kuat dari padaku, sehinggga slep.., jarinya menyentuh klitorisku.

Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, apalagi ketika ia mulai memainkan tangannya di lubangku bagian luar, mengelus-elus buluku yang tipis dan menggesek-gesekkan klitorisku yang sudah basah dengan cairanku. Sungguh sensasi yang luar biasa yang sudah lama tidak kurasakan. Memang sih pacarku yang dulu (sebelum dengan yang sekarang) agak nakal dan suka minta jatah, tapi yang sekarang orangnya sangat baik, alim, nggak kurang ajar. Tapi aku gampang dekat sama laki-laki, jadi pacarku yah pacarku, temenku yah temenku, kadang malah lebih dekat dari pacarku, seperti kakak tentorku sayang yang sedang asyik memainkan klitorisku ini.
Tidak sadar aku pun mengeluarkan suara-suara yang erotis sambil menjambak rambutnya, “Ahh… ahh… Kakak.., Kakaak.., enak. Kakak nakall..!”

Kepalanya yang tanpa sadar juga sudah sudah menempel di kedua payudaraku. Film pun habis, lampu kembali menjadi terang. Ia pun memandangiku dengan mesranya.
“Pulang yuk..!” katanya sambil menggandeng tanganku.
Sambil berjalan turun, aku pun membetulkan rokku yang sudah diacak-acak olehnya tadi.

“Maafin kelakuan Kakak yah tadi.” ia pun memecahkan kebisuan di antara kami berdua.
“Nggak pa-pa, tapi jangan diulangi lagi yah Kak.. aku takut.” jawabku.
Ia langsung merangkul pinggulku dan mencium pipiku, sungguh sangat mesranya. Kami pun pulang dengan menggunakan jasa taxi.

“Turun dulu Kak..!” kataku saat taxi sudah sampai di depan rumahku.
Ia pun menyanggupi dengan langsung membayar taxi dan ikut turun bersamaku. Sungguh lelaki yang bertanggung jawab dalam hatiku. Aku pun mengambil kunci di bawah pot, di situ biasa kami menyimpan kunci kalau tidak ada orang di rumah. Maklumlah, ibuku sering pergi ke rumah kakakku yang paling tua, sehingga aku biasanya hanya tinggal di rumah bersama saudara-saudaraku. Bapak dan ibu sudah cerai sejak aku SD.

Aku langsung mempersilakannya masuk ke rumah mungilku.
“Duduk Kak.., mo minum apa..?”
“Nggak usah repot-repot deh, ehh iya orangtuamu nggak ada..?”
“Nggak ada Kak, lagi pergi kayaknya.”
“Oohh..”
Begitu percakapan kami setelah kami masuk. Aku pun langsung masuk kamar untuk mengganti baju.

“Tunggu sebentar yah Kak.” kataku, namun ia langsung mengikutiku ke dalam kamar dan menggendongku ke atas ranjang, lalu mengunci pintu kamarku.
“Kak, Kakak mau apa..?” tanyaku lugu.
“Lanjutin yang tadi yah..?” ucapnya.
“Jangan Kak, aku takut..!” kataku lagi tapi dia langsung memelukku dan meciumku dengan liarnya.
Aku yang juga sudah terangsang menyambutnya dengan ciumanku yang bernafsu.

“Achh.., ack.., ack..!” bunyi mulut kami yang saling terpaut mesra.
Ia pun melepaskan semua bajunya dan bugil di depanku. Kemaluannya yang menggelantung di depanku sangat besar, baru kali ini aku melihat yang sebesar ini. Kemaluan pacar-pacarku tidak ada yang sebesar dan sehitam ini, sungguh membuatku ingin merasakannya. Walaupun aku suka petting samapacarku, namun aku masih tetap menjaga perawanku sampai saat ini. Aku tidak kuasa menolak ketika ia melepaskan seluruh bajuku, sehingga aku polos tanpa sehelai benang pun yangmenempel pada tubuhku.

Di kamarku sendiri, di atas ranjangku sendiri, dimana ibuku biasa tidur bersamaku, sekarang akusedang memegangi batang kemaluan tentorku yang amat panjang dan keras yang ia sodorkan ke mulutku. Walaupun sempat menolak karena agak jijik, namun akhirnya aku mau juga dan malah keenakan menghisap miliknya seperti lolypop yang dulu sering diberikan mama waktu aku kecil.
Kakak tentorku pun mengerang keenakan, “Ahh.., aah.., ahhh.., enak Sayang.. terus..!”
Terdengar juga saat itu, “Ckkc.. ckkk..!” bunyi hisapan mulutku di batang kemaluannya.

Dalam posisi aku tidur dan ia mengangkang di atasku sambil kedua tangannya meraih payudaraku dan meremas-remasnya, aku pun keenakan dibuatnya. Ia kini melepaskan penisnya dan menghisap kedua payudaraku secara bergantian dengan liarnya sambil tangannya memainkan klitorisku dan sesekali menusuk masuk ke lubangku yang sudah amat becek. Aku pun merasa sangat nikmat dibuatnya.
“Aaah.., ahh.., uhh.., uuhh Kaa.. Kkaakaa..kkk tyus Kak eenaakk.., ah.. aahh uhh yeah..!” begitulah teriakanku sambil meracau tidak karuan karena menahan nikmat yang luar biasa.
Ia pun menjilati tubuhku, turun dan turun hingga sampai kepada lubang kemaluanku yang ia garapmesra.
Aku pun melenguh keenakan, “Aahh.., aahhh… Kakkk.., aku mo keluar..!”
Ia seakan tidak menggubrisku, jilatannya pindah ke arah paling sensitif. Klitorisku dimain-mainkan dengan lidahnya. Aku hanya bisa merem melek dibuatnya, karena sensasi yang luar biasa atas permainan lidahnya di bagian tubuhku yang sensitif.

“Kakkk.., Kakkk.., aku keluarrh. Ahh.., aahh..!” aku pun mengeluarkan cairanku, namun ia tidak berhenti menghisap vaginaku sampai semuanya dibuat bersih.
“Oohh.., Kakkk.., enakk.. Kakk..!” aku seakan tidak perduli lagi apa yang kuucapkan.
Ia pun mencoba menusukku dengan senjatanya yang sudah menegang dari tadi. Sungguh seorang kakak yang perlu diteladani, ia mau memuaskanku dulu baru memikirkan nasib ‘adek’-nya.

Aku pun dengan senang hati melebarkan kakiku untuknya, seakan aku pasrah memberikan diriku untuknya. Ia pun berusaha memasukkan batang penisnya ke arah vaginaku, namun agak sulit karena memang aku masih perawan. Aku pun merasa sakit, namun karena ia juga meremas payudaraku dan menghisap bibirku, rasa sakit itu sedikit terobati. Sampai akhirnya, “Bless..! Pertahananku berhasil ditembusnya.
Aku pun berteriak, “Ahh.., saa.. saakiitt Kaakkk..!”
Ia pun membelai rambutku, dan berkata, “Tahann ya uhh..!”

Ia pun nampak keasyikkan menikmati jepitanku, “Uhh.., Dekk.., kamu hebat..!”Kami pun terus berciuman sementara tangannya memainkan puting susuku yang semakin mengeras.
“Ahh.., aahh.. aahh..” betul-betul nikmat dan asyik, “Aahhh.., ohh.., uuhh..!”
Ia pun menghisap bibirku dengan lembut.
Tidak lama kemudian, “Ahh.., aahh.., ohh.., yeaahh.. yeaah.. Kak.. aku mo keluarr. Oohh aku sudah tidak tahan lagi..!” dan, “Serrr…” keluarlah cairanku.

Aku pun merasakan kenikmatan yang teramat sangat di sekujur tubuhku seiring keluarnya cairan di liang kenikmatanku beserta darah segar yang sejak tadi keluar dan membasahi sepreiku. Namun aku tidak menangis dan menyesalinya, bahkan seketika itu juga dia mengeluarkan batang kemaluannya dari lubang kemaluanku dan menyemprotkan spermanya ke seluruh wajahku, dan mulutku. Aku pun membersihkan sisa-sisanya dengan menelan sperma yang ia semprotkan dengan menghisap batang kemaluannya sampai bersih.

Kemudian kami pun menatap mesra, berpelukan dan tertidur bersama. Masalah besok yah besok lah diatur. Terima kasih bimbingannya yah Kakak. I love You.
















WESTI


Perkenalkan, namaku Adi. Aku seorang mahasiswa disebuah perguruan negeri di kota Purwokerto. Aku punya pacar namanya Westi setiap hari selasa dan sabtu , kami selalu bertemu. Karena kami ikut kursus bahasa inggris di sebuah tempat kursus bahasa asing yang cukup terkemuka. Di tempat kursus itu pula kami pertama kali bertemu.

Sekedar informasi, Westi adalah seorang pelajar di sebuah SMK terkenal di kota ini. Westi mempunyai wajah yang cantik dan imut, membuat setiap orang tak bosan-bosan memandangnya. Dengan tinggi 167 cm dan berat 50 kg, dan kulit yang putih bersih ia tampak sangat menggairahkan ketika mengenakan seragam sekolahnya. Westi berangkat sekolah dengan membawa sepeda motor sendiri, jadi aku tak perlu tiap hari mengantar dan mejemputnya.

Meskipun lugu Westi sangat menggairahkan. Yang paling menonjol dari Westi ialah pantatnya yang besar dan padat. Sekal sekali. Agak kontras dengan bentuk tubuhnya yang langsing. Roknya yang memanjang sampai kemata kaki, tak bisa menyembunyikan lekuk buah pantatnya yang bergoyang naik-turun dan kekanan-kiri ketika berjalan. Didukung payudaranya yang cukup besar untuk ukuran seusianya. Ukuran branya mungkin sekitar 34b.

Setelah pulang kursus pada hari sabtu, kami sepakat untuk jalan-jalan dulu ke alun-alun kota. Pukul 22.05 WIB, aku mengantarnya pulang. Tapi tiba-tiba Tigerku ngadat, terpaksa kami berhenti dulu cari bengkel untuk perbaiki motorku dulu. Setelah jadi kami melanjutkan perjalanan tapi saat itu sudah jam 22.55 malam.

“aku kemalaman nih … “.kata westi.

“aku pasti dimarahin aku nggak berani pulang…..”

“kalo nggak pulang kita kemana …nggak mungkin balik ke kost ku” ….balasku

“kita ke rumah tante ku aja, kebetulan aku bawa kunci rumahnya. Tante ku sedang keluar kota untuk urusan bisnis , jadi rumahnya kosong”. kata westi

“ehmm oke dech …..” kataku.

Kami akhirnya telah berada dalam rumah tante nya Westi. Rumahnya cukup besar, tetapi agak terasing dari tetangga. Setelah makan malam aku dan westi nonton tv sambil tiduran di ruang keluarga.Tak sengaja aku melihat permukaan buah dada Westi yg besar dan ranum, menonjol seolah ingin keluar dari kaos street nya yang ketat penis ku pun mula bereaksi. Aku sudah coba menahan tapi birahi ku sudah telanjur tinggi aku tindih dia dari belakang sambil ku tarik kedua lengannya ke belakang.

“jangan………apa yang kamu lakukan Di….”

“tenang aja west nggak akan sampe masuk kok….” balas ku.

Westi meronta,tapi apa daya seorang perempuan akhirnya setelah meronta selama sekitar 15 menit dia akhirnya lemas juga. Aku gosokkan penis ku ke pantatnya yg besar, yang saat itu dibungkus jeans yang cukup ketat. Sambil ku remas-remas bongkahan pantatnya yang padat berisi wah nikmat .…….

“pantat loe kualitas nomer satu West…..ouuhh….semok banget!!”.

“ooohh.., ohhhh… janggaaaaannn…. jangan Di……aku pacar kamu sendiri….”rintih westi

Namun aku nggak peduli aku balik tubuh nya aku lepas pakaian atasnya, sehingga rambut nya yang keriting sepundaknya tergerai bebas. Kuremas-remas dengan kasar susu nya yang masih terbungkus kaos yang dikenakannya.

Kutarik bra nya. Payudaranya bergoncang naik turun karena kutarik bra nya dengan paksa.Kulihat payudara westi yg besar tapi kencang dan kenyal. Kulit payudaranya putih bersih, ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar wilayah dadanya. Urat-urat berwarna kehijauan melintang di buah dadanya. Aku jilat aku sedot sedot, sambil sesekali aku gigit-gigit gumpalan daging di dadanya itu.

Wah asyik dan nikmat, sementara tanganku yg satunya memilin-milin puting susu Westi yang coklat kemerahan dan mulai mengeras. Mungkin Westi mulai terangsang. Kutekan kedua susu nya sampai tergencet, sehingga melebar ke samping. Ku tampar-tampar kedua gunung kembarnya sampai memerah. Westi pasti merasakan panas pada kedua payudaranya saat ini.

“Aauhhh… auhh… ihhhh… ooohhhh……. ahhhhh” rintih westi menahan geli dan nyeri pada kedua payudaranya. Kujepit puting susu sebelah kanan nya dengan kedua jariku. Kemudian
kuplintir-plintir sambil kutarik-tarik keatas. Sambil kuhisap sekuat-sekuat nya, hingga putting susu Westi mengeluarkan sedikit cairan putih yang lengket.

“ouuhh……. sakiiitt…… ampuunn……. Di…………iii……peerriiihh….” erang Westi.

Kemudian kulepas celana jeans nya, dan ku tarik CD nya ke bawah.

“ohhhh…. jangan Di…….pleaseeee…….ouuuhhhh…….”.tubuh westi menggelinjang terangsang.

Aku lepas CD ku dan kumasukakan penis ku ke mulutnya dengan paksa. Kujepit klitorisnya dengan kedua jariku, kutarik dan kuperkeras jepitanku.

“aahhh..eeghhhh……….eeghhhhh….sakkkiittt…….Dii….sak kkitttt……”. Westi terus menggeliat mencoba melepaskan jariku.”

“jilat kemudian sedot penis gue,klo nggak gue tarik sampai lepas klitoris loe!!!!”.

Westi ketakukan, dengan terpaksa ia mulai menjilati penisku, kemudian mulai mengulumnya.

“Waaaoooo ….. Westii mengulum penis ku. Wah… nikmat sekali …..”

Aku jejal kan penis ini kemulutnya sampai masuk ke tenggorokannya, hingga ia kehabisan nafas aku tarik penis ku dari mulutnya .Aku lepas cd nya kemudian ku elus-elus pahanya yang putih bersih dengan bulu-bulu halus. Aku angkat paha Westi dan melebarkannya.

Kepala ku menunduk memperhatikan vagina Westi yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Kepala ku bergerak dan mulut ku mulai menjilati vagina Westi yang gemuk dan lipatan daging yang kemerahan itu. Westi terengah-engah merasakan kemaluannya ada yang menjilati. Hanya suara erangan gadis itu saja yang terdengar.

Sementara mulut ku menjilati vagina Westi, tangan ku bergerak ke atas dan memijat-mijat payudara Westi serta mempermainkan putting susu gadis itu.. Westi menggeliat antara sakit, geli dan takut. Kubuka bibir vagina Westi, kemudian kumasukan jari telunjukku ke dalam liang kemaluannya.ku masuk keluarkan dengan cepat. Kukorek-korek lobang vaginanya sampai lubangnya mulai terbuka agak lebar Vagina Westi mulai basah akibat rangsanganku. Tiba-tiba Westi mengangkat pinggulnya dan melemah. Rupanya Gadis itu telah orgasme. Dari vagina Westi keluar cairan kental bening yang lengket .

Ketika melihat bibir vagina gadis itu telah basah, cepat-cepat Aku arahkan kontol ku yang sudah menegang dan mendekatkannya ke liang vagina Westi. Langsung saja kutempelkan kepala penisku di depan lobang vaginanya, kemudian dengan sekuat tenaga ku dorong penisku. Aku masuk kan penis ini ke vaginanya, masih sulit maklum,dia masih perawan jadinya lobang vaginanya masih sangat kecil . Sambil memegangi pinggul gadis itu, Aku menggerakkan pinggul ku, dan ” hup.…………ooohhh”.

Walaupun dengan susah payah akhirnya kontol ku masuk amblas ke dalam lubang kemaluan westi. Westi menjerit kesakitan. Kurasakan kontol ku hangat dan serasa ada yang memijat-mijat. Aku mulai mengerakkan kontol ku maju mundur. Tangan ku memegang pundak gadis itu sedangkan mulut ku menciumi putting susu Westi yang masih mengeluarkan cairan keputihan seperti susu itu.

Westi mendesah-desah, membuat ku semakin bergairah . Aku goyangkan penis ku naik turun. Kutekuk kedua kakinya keatas, sehingga kedua paha westi yang putih mulus itu menyentuh payudaranya. Kupompa vaginanya naik-turun, sampai keluar darah perawannya yang mengalir membasahi bibir vagina dan turun ke anus westi ke belahan pantatnya.

“ohh ohhhh …. ohh… aakhh….. aahhh” Westi mengerang kesakitan

“Sakittt Di…… aaaakhh…. aku mohon…. hentikan….. Di….” Westi terus memohon, tapi aku tak peduli. aku terus bor lobang kemaluannya sambil kukulum dan kuhisap mulutnya yang mungil. air liur mengalir membasahi bibir, hidung, pipi, dan sekitar lehernya. kujilat dan kuhisap air liur westi dan kuteguk dengan nikmat.

Dan kuganti permainan ku. Kubalikkan tubuh Westi. Dan memposisikan tubuh telanjang Westi itu seperti Anjing. Dari arah belakang kembali Kuhujamkan kontolku ke liang memek Westi. “hebat West….oooh….. memek loe rapet banget….”.Gerakan ku semakin cepat. Kedua tangan ku semakin kasar meremas-remas susu gadis itu.

Westi semakin mengerang-ngerang kesakitan. Tapi Aku tak peduli. Terus saja Aku maju mundurkan pinggulnya dengan cepat.Sambil menepuk-nepuk bongkahan pantatnya yang padat dan kenyal dengan keras. Sehingga bekas tepukan ku mengecap merah membentuk telapak tangan di kulit pantat Westi yang putih mulus itu

“aahhakhh……aahhkkk…. peee.. eerrii.. ii.. hhhh……. Diii…. iii…. aku ngga… taa.. haannn..”

“Wee…ess…tti….iii….loee…emang pantas….. jadi aan.. jii.. i. ng… oohh…. gila… enaknya.”

“aaakkkhhh…. hhh……akhh…….. ohh…. ohh…… ouhhh” Westi terus merintih kesakitan.

Aku semakin bersemangat. Sampai akhirnya tubuh ku mengejang dan akhirnya pejuku menyembur ke dalam rahim Westi, memenuhi lobang vaginanya.

“Ohhh….nikmattt………… ….…gue masukin peju gue ke lobang loe…Westt……” .

Setelah diam beberapa saat membiarkan kontol ku tertanam di lubang vagina Westi. Sambil menikmati jepitan vagina Westi yang otot vagina nya berdenyut-denyut. Aku lepaskan kontol ku dan membalikkan tubuh Westi serta mengangkat kepala gadis itu serta memaksa Westi menjilati penis ku yang masih basah oleh sperma dan darah.

Setelah penisku bersih aku tergeletak disamping Westi sambil membelai rambutnya. Wajahnya terlihat pucat merasakan sakit pada selangkangan nya.

Aku bergegas ke kamar mandi.Aku mandi dan setelah itu aku kembali keranjang aku pandangi tubuh westi yang dalam posisi menyamping tergolek lemah tak berdaya sambil kedua tangan memegangi selangkangannya.

Tiba tiba penis ku bereaksi lagi setelah melihat pantat putihnya yang mulus dan padat berisi itu, aku langsung menindihi nya dan menciumi bibir nya dengan ganas beda dengan tadi sekarang Westi tampak pasrah menerima perlakuanku. Aku remas-remas dan kutarik-tarik susunya aku keluarkan penis ku lalu aku jejelin ke mulutnya. Westi kupaksa mengulum penis ku oohhh… ohhh… aku merintih keenakan merasakan surga dunia.

Kemudian kuletakkan penisku tepat diantara kedua payudara Westi, kutekan kuat-kuat kedua susu Westi hingga menjepit erat penis ku. Langsung kugerakkan penisku maju mundur

“uuu…. uuhhhhh…………toket loe empuk West………kenyal banget”

“eeeghhh…….. ehh……. ehh……. ouuu.. hh…..”. Westi meringis kesakitan sambil kedua tangan nya berusaha melepas cengkraman tanganku pada kedua susu nya.

Kupercepat irama gerakan penisku. Urat-urat payudara Westi terlihat sangat jelas, seperti mau keluar dari kulit payudara nya yang montok itu..

Setelah itu aku balik tubuhnya sekarang Westi dalam keadaan tengkurap, aku ciumi bongkahan pantatnya sambil ku jilat-jilat. Aku masukkan penis ku kelubang anusnya.

“errgghhh…… oouhh… jangan… Di… aku mohon jangan disitu!!! sakiitttt……. Dii…” westi terus memohon.

Perlahan kutekan kepala Westi hingga turun menyentuh lantai. Sepasang tangan ku menarik pantatnya ke atas hingga Westi menungging. Westi sangat ketakutan. Aku terus mengerjai pantat Westi. Sulit sekali.aku buka belahan pantatnya, kemudian kujilati dubur Westi sambil kumasukan jari tengah ku ke dalam lubang anusnya.. Ujung jari ku mulai mendorong masuk ke anusnya, sakit yang amat sangat menyengat Westi.

Perlahan, aku mulai memutar-mutar jariku membuat liang anus Westi membuka menyakitkan. Aku terus mendorong dan memutar hingga akhirnya seluruh jari tengah ku masuk ke dalam anus Westi dan mulai bergerak keluar masuk. Tangan Westi meremas tempat tidur di bawahnya dengan gigi yang gemeretak, berusaha menahan sakit yang amat sangat. Aku masuk-keluarkan jariku dengan cepat, Westi menggelinjang kesakitan.

“ooooohhhhhhhhh…… akhhhhhh…”westi menjerit “sakittttttttttt……. ampun Dii…… akhhhh… ouuhh……. “.

“Yes, ini bener-bener hari keberuntungan gue, gue udah lama pengen ngerasain pantat lo West,”

Westi gemetar ketakutan aku berlutut di belakangnya, tubuhnya tersentak ketika tangan ku membuka belahan pantatnya dan mulai merabainya lagi.

“aku mohon, aku mohon……jangan lakukan, aku nggak tahan sakitnya Diii……kamu sudah masukin punya mu di mulut ku dan vagina ku, apakah itu ngga cukup buat kamu dii…aahhh…. argghhh…” Westi terus memohon.

Setelah lubang duburnya agak terbuka, aku masukan lagi jari telunjukku. Dengan kecepatan tinggi ku masuk-keluarkan kedua jariku didalam lubang dubur Westi. Westi terus meronta, sambil megap-megap menahan nafas karena kesakitan. Setelah kurasa lubang duburnya terbuka cukup lebar, kucabut kedua jariku yang berlumur darah anusnya.
kemudian kumasukkan kedua jariku itu kedalam mulut Westi, kuoleskan ke lidahnya sampai kedua jariku bersih.

Kuarahkan penisku yang menegang keras ke lobang dubur Westi yang memerah dan berkerut. kutarik rambutnya dengan kencang.

“Aaakkkhhhh.. hh…… akhhhhh… ooooohhhhh….. sakiiiiiitttttttt…… Diiii”

Rasa sakit langsung menyengat pantat Westi, ia berusaha merangkak ke depan, tapi tanganku yang di rambutnya membuatnya harus diam tak bergerak, punggung Westi melengkung menahan sakit. Pantatnya terangkat ke atas. Tangan ku di perut Westi memeganginya dan menariknya agar punggung Westi lurus kembali. Westi terengah-engah, Meluruskan punggungnya, dipegangi oleh tangan ku, tak berdaya menunggu rasa sakit selanjutnya.

Westi menjerit dengan keras sekali ketika aku berhasil memasukkan sebagian penisku ke dalam duburnya.Westi merasakan lubang anusnya membesar diterobos oleh penis ku, sedangkan aku merasakan rasa panas di kepala hingga batang penisku ketika hampir seluruhnya telah masuk ke dalam anus Westi.

“Jangan, jangan….. Diiii…. aku mohon, sakit sekali, sakit, berhenti…. Sakiiitt…Diii……aku ngga ku…. aatttt….. aaaarrgghh….” Westi menjerit-jerit.

“Oke, sayang, gue udah masuk semua dan gue akan segera mulai pake pantat lo”.

Aku tak peduli aku paksa dan akhirnya masuk seluruhnya, kudiamkan sejenak sambil kupandangi batang penisku yang tertanam di belahan pantat Westi.Aku goyangkan pantat westi ke kanan kiri naik turun wah rasanya nikmat. Kemudian ku maju mundurkan pinggulnya, sambil kukeluar-masukkan batang penisku dalam lobang duburnya yang sangat sempit dan kering.

“ooohhh………..oohhh…gilaa…..dubur loe West……lebih sempit dari dubur ayam”.

Lubang anusnya tampak masih seret tapi itu menambah nikmat aku naik turun kan pinggangku sambil ku cengkeram pinggulnya. Westi menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan sakit semampunya, tangan di rambutnya menarik kepalanya hingga menempel di atas kasur. Westi yang cantik sekarang menungging, kepala menempel di atas kasur, pantatnya di atas dengan sebuah penis masuk di dalam anusnya. Westi merasa dirinya seperti penuh, seakan-akan dirinya ingin buang air.

“wooo aoooo …. ooohhh….. oooooohhhh.” kepala Westi menengadah keatas, bibirnya membentuk huruf O. membisu, karena suaranya tertahan di tenggorokannya.Kuangkat lagi pinggulnya mulai turun, sehingga sekarang Westi dalam keadaan menungging dengan kokoh. Kusodok-sodok pantatnya sambil kuremas-remas susu Westi. Darah menyelimuti penisku ketika kutarik keluar. Di iringi erangan suara Westi.Cairan anus Westi mengalir keluar bercampur darah turun ke vaginanya, kemudian mengalir terus ke paha westi yang putih mulus.

Anus Westi sangat sempit dan panas. Aku sangat menikmati jepitan anus Westi di penisku, menikmati pijatan di penisku. Penis ku sebenarnya juga merasa sakit karena saking sempitnya anus Westi, tapi tanpa peduli aku kembali mulai bergerak keluar masuk. Kulihat liang anus Westi yang kupaksa penisku masuk hingga pangkalnya, dan ketika kutarik penis ku, Aku menikmati sekali otot-otot anus itu berdenyut memijati batang penis ku, Sampai tinggal kepala penis ku yang masih tertinggal di anus Westi, Kemudian kudorong lagi penis ku masuk. Sakit semakin menjadi-jadi menyerang pantat hingga seluruh tubuh Westi.

Setelah kurang lebih 15 menit aku menyodomi Westi, aku merasakan peju ku mau keluar. Kutarik rambut Westi kebelakang sehingga wajahnya menatap dengan mulut menganga ke atas. Sementara tangan kiriku menekan pantatnya, kudorong penisku sampai sedalam-dalamnya ke dalam lubang dubur Westi. Akhirnya peju ku menyembur di dalam anus Westi. Ketika cairan panas terasa mengalir masuk di anus Westi. Ia menjerit dan menjerit tanpa daya ketika sperma ku membuat anusnya semakin perih.

“Aaaaaahhhhhh…………. oouhhh…. sssshhhh…gilaaa… aaa…Wessss….. dubur loe gue masukin peju gue……”.

Di pantat Westi penis ku mulai kutarik keluar perlahan. Ketika sampai dikepala penis, aku berhenti sejenak, Dan kemudian perlahan kembali kutarik hingga terlepas seluruhnya dari jepitan anus Westi. “Uugghhhh,” Westi mengerang ketika penis ku terlepas dari jepitan anusnya. Cairan mengalir keluar dari anusnya.

Westi melihat ke belakang dan melihat di antara kedua kakinya menetes sperma kental berwarna putih dengan bercak-bercak merah dan kuning mengumpul di kasur. Tubuh Westi bergetar dan tersungkur lemas.

Kucabut penisku, sambil rebahan disamping tubuh Westi yang basah oleh keringatnya. Ia pingsan karena kecapaian dan merasakan sakit yang luar biasa pada kedua lobang di selangkangannya.

kejadian malam itu sempat aku abadikan dalam sebuah photo. Aku gunakan agar Westi tidak menceritakan penderitaannya kepada orang lain. Terutama ortunya. Aku rutin menyetubuhi dia, terutama menyodominya. Minimal seminggu dua sekali. Entah sudah seberapa lebar lobang anusnya sekarang.

Sampai akhirnya aku harus pindah ke luar kota karena mengurus bisnis yang ditinggalkan Ayahku. Tetapi aku masih menyimpan photo-photonya. Jika aku sempat aku kembali ke Purwokerto. Untuk membantu Westi melebarkan lobang vagina dan anusnya. Sekarang dia kelas 3, dan masih melanjutkan sekolahnya.
















Ibu Guru yang Nakal


Rina adalah seorang guru sejarah di smu. Umurnya 30 tahun, cerai tanpa anak. Kata orang dia mirip Demi Moore di film Striptease. Tinggi 170, 50 kg, dan 36B. Semua murid-muridnya, terutama yang laki-laki pengin banget melihat tubuh polosnya.

Suatu hari Rina terpaksa harus memanggil salah satu muridnya ke rumahnya, untuk ulangan susulan. Si Anto harus mengulang karena ia kedapatan menyontek di kelas. Anto juga terkenal karena kekekaran tubuhnya, maklum dia sudah sejak SD bergulat dengan olah raga beladiri, karenanya ia harus menjaga kebugaran tubuhnya.

Bagi Rina, kedatangan Anto ke rumahnya juga merupakan suatu kebetulan. Ia juga diam-diam naksir dengan anak itu. Karenanya ia bermaksud memberi anak itu ‘pelajaran’ tambahan di Minggu siang ini.
“Sudah selesai Anto?”, Rina masuk kembali ke ruang tamu setelah meninggalkan Anto selama satu jam untuk mengerjakan soal-soal yang diberikannya.
“Hampir bu”
“Kalau sudah nanti masuk ke ruang tengah ya saya tinggal ke belakang..”
“Iya..”
“Bu Rina, Saya sudah selesai”, Anto masuk ke ruang tengah sambil membawapekerjaannya.
“Ibu dimana?”
“Ada di kamar.., Anto sebentar ya”, Rina berusaha membetulkan t-shirtnya. Ia sengaja mencopot BH-nya untuk merangsang muridnya itu. Di balik kaus longgarnya itu bentuk payudaranya terlihat jelas, terlebih lagi puting susunya yang menyembul.

Begitu ia keluar, mata Anto nyaris copot karena melotot, melihat tubuh gurunya. Rina membiarkan rambut panjangnya tergerai bebas, tidak seperti biasanya saat ia tampil di muka murid-muridnya.
“Kenapa ayo duduk dulu, Ibu periksa..”
Muka Anto merah karena malu, karena Rina tersenyum saat pandangannya terarah ke buah dadanya.
“Bagus bagus…, Kamu bisa gitu kok pakai menyontek segala..?”
“Maaf Bu, hari itu saya lupa untuk belajar..”
“oo…, begitu to?”
“Anto kamu mau menolong saya?”, Rina merapatkan duduknya di karpet ke tubuh muridnya.
“Apa Ibu?”, tubuh Anto bergetar ketika tangan gurunya itu merangkul dirinya, sementara tangan Rina yang satu mengusap-uasap daerah ‘vital’ nya.
“Tolong Ibu ya…, dan janji jangan bocorkan pada siapa–siapa”.
“Tapi tapi…, Saya”.
“Kenapa?, oo…, kamu masih perawan ya?”.
Muka Anto langsung saja merah mendengar perkataan Rina”Iya”
“Nggak apa-apa”, Ibu bimbing ya.

Rina kemudian duduk di pangkuan Anto. Bibir keduanya kemudian saling berpagutan, Rina yang agresif karena haus akan kehangatan dan Anto yang menurut saja ketika tubuh hangat gurunya menekan ke dadanya. Ia bisa merasakan puting susu Rina yang mengeras. Lidah Rina menjelajahi mulut Anto, mencari lidahnya untuk kemudian saling berpagutan bagai ular.

Setelah puas, Rina kemudian berdiri di depan muridnya yang masih melongo. Satu demi satu pakaiannya berjatuhan ke lantai. Tubuhnya yang polos seakan akan menantang untuk diberi kehangatan oleh perjaka yang juga muridnya ini.
“Lepaskan pakaiannmu Anto”, Rina berkata sambil merebahkan dirinya di karpet. Rambut panjangnya tergerai bagai sutera ditindihi tubuhnya.
“Ahh cepat Anto”, Rina mendesah tidak sabar.

Anto kemudian berlutut di samping gurunya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pengetahuannya tentang seks hanya di dapatnya dari buku dan video saja.
“Anto…, letakkan tanganmu di dada Ibu”,
Dengan gemetar Anto meletakkan tangannya di dada Rina yang turun naik. Tangannya kemudian dibimbing untuk meremas-remas payudara Rina yang montok itu.
“Oohh…, enakk…, begitu caranya…, remas pelan-pelan, rasakan putingnya menegang..” Dengan semangat Anto melakukan apa yang gurunya katakan.
“Ibu…, Boleh saya hisap susu Ibu?”.
Rina tersenyum mendengar pertanyaan muridnya, yang berkata sambil menunduk, “Boleh…, lakukan apa yang kamu suka”.

Tubuh Rina menegang ketika merasakan jilatan dan hisapan mulut pemuda itu di susunya. Perasaan yang ia pernah rasakan 3 tahun lalu saat ia masih bersama suaminya.
“Oohh…, jilat terus sayang…, ohh”, Tangan Rina mendekap erat kepala Anto ke payudaranya.

Anto semakin buas menjilati puting susu gurunya tersebut, mulutnya tanpa ia sadari menimbulkan bunyi yang nyaring. Hisapan Anto makin keras, bahkan tanpa ia sadari ia gigit-gigit ringan puting gurunya tersebut.
“mm…, nakal kamu”, Rina tersenyum merasakan tingkah muridnya itu.
“Sekarang coba kamu lihat daerah bawah pusar Ibu”.
Anto menurut saja. Duduk diantara kaki Rina yang membuka lebar. Rina kemudian menyandarkan punggungya pada dinding di belakangnya.
“Coba kamu rasakan”, ia membimbing telunjuk Anto memasuki vaginanya.
“Hangat Bu..”
Bisa kamu rasakan ada semacam pentil…?”
“Iya..”
“Itu yang dinamakan kelentit, itu adalah titik peka cewek juga. Coba kamu gosok-gosok”Pelan-pelan jari Anto mengusap-usap clitoris yang mulai menyembul itu.
“Terus…, oohh…, ya…, gosok…, gosok”, Rina mengerinjal-gerinjal keenakan ketika clitorisnya digosok-gosok oleh Anto.
“Kalo diginiin nikmat ya Bu?”, Anto tersenyum sambil terus menggosok-gosok jarinya.
“Oohh…, Antoo…, mm”, tubuh Rini telah basah oleh peluh, pikirannya serasa di awang-awang, sementara bibirnya merintih-rintih keenakan.

Tangan Anto semakin berani mempermainkan clitoris gurunya yang makin bergelora dirangsang birahi. Nafasnya yang semakin memburu pertanda pertahanan gurunya akan segera jebol.
“Ooaahh…, Anntoo”, Tangan Rina mencengkeram pundak muridnya, sementara tubuhnya menegang dan otot-otot kewanitaannya menegang. Matanya terpejam sesaat, menikmati kenikmatan yang telah lama tidak dirasakannya.
“Hmm…, kamu lihai Anto…, Sekarang…, coba kamu berbaring”.
Anto menurut saja. Penisnya segera menegang ketika merasakan tangan lembut gurunya.
“Wah…, wahh.., besar sekali”, tangan Rina segera mengusap-usap penis yang telah mengeras tersebut.

Segera saja benda panjang dan berdenyut-denyut itu masuk ke mulut Rina. Ia segera menjilati penis muridnya itu dengan penuh semangat. Kepala penis muridnya itu dihisapnya keras-keras, sehingga Anto merintih keenakan.
“Ahh…, enakk…,enakk”, Anto tanpa sadar menyodok-nyodokkan pinggulnya untuk semakin menekan penisnya makin ke dalam kuluman Rina. Gerakannya makin cepat seiring semakin kerasnya hisapan Rina.
“oohh Ibu…, Ibbuu”
Muncratlah cairan mani Anto di dalam mulut Rina, yang segera menjilati cairan itu hingga tuntas.
“Hmm…, manis rasanya Anto”, Rina masih tetap menjilati penis muridnya yang masih tegak.
“Sebentar ya aku mau minum dulu”.

Ketika Rina sedang membelakangi muridnya sambil menenggak es teh dari kulkas. Tiba-tiba ia merasakan seseorang mendekapnya dari belakang.
“Anto…, biar Ibu minum dulu”.
“Tidak…, nikmati saja ini”, Anto yang masih tegang berat mendorong Rina ke kulkas.
Gelas yang dipegang rina jatuh, untungnya tidak pecah. Tangan Rina kini menopang tubuhnya ke permukaan pintu kulkas.
“Ibu…, sekarang!”
“Ahhkk”, Rina berteriak, saat Anto menyodokkan penisnya dengan keras ke liang vaginanya dari belakang. Dalam hatinya ia sangat menikmati hal ini, pemuda yang tadinya pasif berubah menjadi liar.
“Antoo…, enakk…, ohh…, ohh”. Tubuh Rina bagai tanpa tenaga menikmati kenikmatan yang tiada taranya. Tangan Anto satu menyangga tubuhnya, sementara yang lain meremas payudaranya. Dan penisnya yang keras melumat liang vaginanya.
“Ibu menikmati ini khan”, bisik Anto di telinganya
“Ahh…, hh”, Rina hanya merintih, setiap merasakan sodokan keras dari belakang.
“Jawab…, Ibu”, dengan keras Anto mengulangi sodokannya.
“Ahh…,iyaa”
“Anto…, Anto jangann…, di dal.. La” belum sempat ia meneruskan kalimatnya, Rina telah merasakan cairan hangat di liang vaginanya menyemprot keras. Kepalang basah ia kemudian menyodokkan keras pinggulnya.
“Uuhgghh”, penis Anto yang berlepotan mani itupun amblas lagi ke dalam liang Rina.”Ahh”.

Kedua insan itupun tergolek lemas menikmati apa yang baru saja mereka rasakan.

Setelah kejadian dengan Anto, Rina masih sering bertemu dengannya guna mengulangi lagi perbuatan mereka. Namun yang mengganjal hati Rina adalah jika Anto kemudian membocorkan hal ini ke teman-temannya.

Ketika Rina berjalan menuju mobilnya seusai sekolah bubar, perhatiannya tertumbuk pada seorang muridnya yang duduk di sepeda motor di samping mobilnya, katakanlah dia Reza. Ia berbeda dengan Anto, anaknya agak pembuat onar jika di kelas, kekar dan nakal. Hatinya agak tidak enak melihat situasi ini.
“Bu Rina salam dari Anto”, Reza melemparkan senyum sambil duduk di sepeda motornya.
“Terima kasih, boleh saya masuk”, Ia harus berkata begitu karena sepeda motor Reza menghalangi pintu mobilnya.
“Boleh…, boleh Bu saya juga ingin pelajaran tambahan seperti Anto.”
Langkah Rina terhenti seketika. Namun otaknya masih berfungsi normal, meskupun sempat kaget.
“Kamu kan nilainya bagus, nggak ada masalah kan..”, sambil duduk di balik kemudi.
“Ada sedikit sih kalau Ibu nggak bisa mungkin kepala guru bisa membantu saya, sekaligus melaporkan pelajaran Anto”, Reza tersenyum penuh kemenangan.
“Apa hubungannya?”, Keringat mulai menetes di dahi Rina.
“Sudahlah kita sama-sama tahu Bu. Saya jamin pasti puas”.

Tanpa menghiraukan omongan muridnya, Rina langsung menjalankan mobilnya ke rumahnya. Namun ia sempat mengamati bahwa muridnya itu mengikutinya terus hingga ia menikung untuk masuk kompleks perumahan.
Setelah mandi air hangat, ia bermaksud menonton TV di ruang tengah. Namun ketika ia hendak duduk pintu depan diketuk oleh seseorang. Rina segera menuju pintu itu, ia mengira Anto yang datang. Ternyata ketika dibuka
“Reza! Kenapa kamu ngikuutin saya!”, Rina agak jengkel dengan muridnya ini.
“Boleh saya masuk?”.
“Tidak!”.
“Apa guru-guru perlu tahu rahasiamu?”.
“!!”dengan geram ia mempersilakan Reza masuk.
“Enak ya rumahnya, Bu”, dengan santainya ia duduk di dekat TV. “Pantas aja Anto senang di sini”.
“Apa hubunganmu dengan Anto?, Itu urusan kami berdua”, dengan ketus Rina bertanya.
“Dia teman dekat saya. Tidak ada rahasia diantara kami berdua”.
“Jadi artinya”, Kali ini Rina benar-benar kehabisan akal. Tidak tahu harus berbuat apa.
“Bu, kalo saya mau melayani Ibu lebih baik dari Anto, mau?”, Reza bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Rina.
Rina masih belum bisa menjawab pertanyaan muridnya itu. Tubuhnya panas dingin.

Rina masih belum bisa menjawab pertanyaan muridnya itu. Tubuhnya panas dingin. Belum sempat ia menjawab, Reza telah membuka ritsluiting celananya. Dan setelah beberapa saat penisnya meyembul dan telah berada di hadapannya.
“Bagaimana Bu, lebih besar dari Anto khan?”.
Reza ternyata lebih agresif dari Anto, dengan satu gerakan meraih kepala Rina dan memasukkan penisnya ke mulut Rina.
“Mmpfpphh”.
“Ahh yaa…, memang Ibu pandai dalam hal ini. Nikmati saja Bu…, nikmat kok”
Rupanya nafsu menguasai diri Rina, menikmati penis yang besar di dalam mulutnya, ia segera mengulumnya bagai permen. Dijilatinya kepala penis pemuda itu dengan semangat. Kontan saja Reza merintih keenakan.
“Aduhh…, nikmat sekali Bu oohh”, Reza menyodok-nyodokkan penisnya ke dalam mulut Rina, sementara tangannya meremas-remas rambut ibu gurunya itu. Rina merasakan penis yang diisapnya berdenyut-denyut. Rupanya Reza sudah hendak keluar.
“oohh…, Ibu enakk…, enakk…, aahh”.
Cairan mani Reza muncrat di mulut Rina, yang segera menelannya. Dijilatinya penis yang berlepotan itu hingga bersih. Kemudian ia berdiri.
“Sudahh…, sudah selesai kamu bisa pulang”, Namun Rina tidak bisa memungkiri perasaannya. Ia menikmati mani Reza yang manis itu serta membayangkan bagaimana rasanya jika penis yang besar itu masuk ke vaginanya.
“Bu, ini belum selesai. Mari ke kamar, akan saya perlihatkan permainan yang sebenarnya.”
“Apa! beraninya kamu memerintah!”, Namun dalam hatinya ia mau. Karenanya tanpa berkata-kata ia berjalan ke kamarnya, Reza mengikuti saja.

Setelah ia di dalam, Rina tetap berdiri membelakangi muridnya itu. Ia mendengar suara pakaian jatuh, dugaannya pasti Reza sedang mencopoti pakaiannya. Ia pun segera mengikuti jejak Reza. Namun ketika ia hendak melepaskan kancing dasternya.
“Sini saya teruskan”, ia mendengar Reza berbisik ke telinganya. Tangan Reza segera membuka kancing dasternya yang terletak di bagian depan. Kemudian setelah dasternya jatuh ke lantai, tangan itupun meraba-raba payudaranya. Rina juga merasakan penis pemuda itu diantara belahan pantatnya.
“Gilaa…, besar amat”, pikirnya. Tak lama kemudian iapun dalam keadaan polos. Penis Reza digosok-gosokkan di antara pantatnya, sementara tangan pemuda itu meremasi payudaranya. Ketika jemari Reza meremas puting susu Rina, erangan kenikmatan pun keluar.
“mm oohh”.
Reza tetap melakukan aksi peremasan itu dengan satu tangan, sementara tangan satunya melakukan operasi ke vagina Rina.
“Reza…, aahh…, aahh”, Tubuh Rina menegang saat pentil clitorisnya ditekan-tekan oleh Reza.
“Enak Bu?”, Reza kembali berbisik di telinga gurunya yang telah terbakar oleh api birahi itu.

Rina hanya bisa menngerang, mendesah, dan berteriak lirih. Saat usapan, remasan, dan pekerjaan tangan Reza dikombinasi dengan gigitan ringan di lehernya. Tiba-tiba Reza mendorong tubuh Rina agar membungkuk. Kakinya di lebarkan.
“Kata Anto ini posisi yang disukai Ibu”
“Ahhkk…, hmm…, hmmpp”, Rina menjerit, saat Reza dengan keras menghunjamkan penisnya ke liang vaginanya dari belakang.”
“Ugghh…, innii…, innii”, Reza medengus penuh gairah dengan tiap hunjaman penisnya ke liang Rina. Rinapun berteriak-teriak kenikmatan, saat liang vaginanya yang sempit itu dilebarkan secara cepat.
“Adduuhh…, teruss.., teruss Rezaa…, oohh”, Kepala ibu guru itu berayun-ayun, terpengaruh oleh sodokan Reza. Tangan Reza mencengkeram pundak Rina, seolah-olah mengarahkan tubuh gurunya itu agar semakin cepat saja menelan penisnya.
“Oohh Rina…, Rinnaa”.
Rina segera merasakan cairan hangat menyemprot di dalam vaginanya dengan deras. Matanya terpejam menikmati perasaan yang tidak bisa ia bayangkan.

Rina masih tergolek kelelahan di tempat tidur. Rambutnya yang hitam panjang menutupi bantalnya, dadanya yang indah naik-turun mengikuti irama nafasnya. Sementara itu vaginanya sangat becek, berlepotan mani Reza dan maninya sendiri. Reza juga telajang bulat, ia duduk di tepi tempat tidur mengamati tubuh gurunya itu. Ia kemudian duduk mendekat, tangannya meraba-raba liang vagina Rina, kemudian dipermainkannya pentil kelentit gurunya itu.
“mm capek…, mm”, bibir Rina mendesah saat pentilnya dipermainkan. Sebenarnya ia sangat lelah, tapi perasaan terangsang yang ada di dalam dirinya mulai muncul lagi. Dibukanya kakinya lebar-lebar sehingga memberikan kemudahan bagi Reza untuk memainkan clitorisnya.
“Rezz aahh”, Tubuh Rina bergetar, menggelinjang-gelinjang saat Reza mempercepat permainan tangannya.
“Bu…, balik…, Reza pengin nih”
“Nakal kamu ahh”, dengan tersenyum nakal, Rina bangkit dan menungging. Tangannya memegang kayu dipan tempat tidurnya. Matanya terpejam menanti sodokan penis Reza. Reza meraih payudara Rina dari belakang dan mencengkeramya dengan keras saat ia menyodokkan penisnya yang sudah tegang
“Adduuhh…, owwmm”, Rina mengaduh kemudian menggigit bibirnya, saat lubang vaginannya yang telah licin melebar karena desakan penis Reza.
“Bu Rina nikmat lho vagina Ibu…, ketat”, Reza memuji sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.
“mm…, aahh…, ahh…, ahhkk”, Rina tidak bisa bertahan untuk hanya mendesah. Ia berteriak lirih seiring gerakan Reza. Badannya digerakkannya untuk mengimbangi serangan Reza. Kenikmatan ia peroleh juga dari remasan muridnya itu.
“Ayoo…, aahh.., ahh… Mm.., buat Ibu keluuaa.. Rr lagi…”. Gerakan Rina makin cepat menerima sodokan Reza.

Tangan Reza beralih memegangi tubuh Rina, diangkatnya gurunya itu sehingga posisinya tidak lagi “doggy style”, melainkan kini Rina menduduki penisnya dengan membelakangi dirinya. Reza kini telentang di tempat tidur yang acak-acakan dan penuh oleh mani yang mengering.
“Ooww..”, Teriakan Rina terdengar keras saat ia tidak bisa lagi menahan orgasmenya. Tangannya mencengkeram tangan Reza, kepalanya mendongak menikmati kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sementara Reza sendiri tetap menusuk-nusukkan penisnya ke vagina Rina yang makin becek.
“Ayoo…, makin dalam dalamm”.
“Ahh.., aahh…, aahh..”, Rezapun mulai berteriak-teriak.
“Mau kelluuaarr”
Rina sekali lagi memejamkan matanya, saat mani Reza menyemprot dalam liang vaginanya. Rina kemudian ambruk menindih tubuh Reza yang basah oleh keringat. Sementara diantara kaki-kaki mereka mengalir cairan hangat hasil kenikmatan mereka.
“Bu Rina…, sungguh luar biasa, Coba kalau Anto ada disini sekarang”.
“mm memangnya kamu mau apa”, Rina kemudian merebahkan dirinya di samping Reza. Tangannya mengusap-usap puting Reza.
“Kita bisa main bertiga, pasti lebih nikmat..”
Rina tidak bisa menjawab komentar Reza, sementara perasaannya dipenuhi kebingungan.

Akhirnya hari kelulusan murid klas 3 sampai juga. Dengan demikian Rina harus berpisah dengan kedua murid yang disayanginya, terlebih lagi ketika ia harus pindah ke kota lain untuk menempati pos baru di Kanwil. Karenanya ia memanggil Anto untuk datang ke rumahnya untuk memberitahukan perihal kepindahannya.
Ketika seputar Indonesia mulai ditayangkan, Anto muncul. Ia langsung dipersilakan duduk.
“Bu, Anto kangen lho”.
“Iya deh…, nanti. Gini, Ibu bulan depan pindah ke kota B, soalnya akan dinaikkan pangkatnya. Jadi…, jadi…, Ibu ingin malam ini malam terakhir kita”, mata Rina berkaca-kaca ketika mengucapkan itu.
“…………..”, Anto tidak bisa menjawab. Ia kaget mendengar berita itu. Baginya Rina merupakan segalanya, terlebih lagi ia telah mendapatkan pelajaran berharga dari gurunya itu.
“Tapi Anto masih boleh berkirim surat kan?”.
Rina bisa sedikit tersenyum melihat muridnya tabah, “Iya…, boleh…, boleh”.
“Minum dulu Nto, ada es teh di meja makan. Kalau sudah nonton VCD di kamar yaa”, Rina mengerling nakal ke muridnya sambil beranjak ke kamar. Di kamar ia mengganti pakaiannya dengan kimono kegemarannya, melepas BH, menghidupkan AC dan tentu saja menyetel VCD ‘Kamasutra-nya Penthouse”. Lalu ia tengkurap di tempat tidur sambil menonton TV.

Diluar Anto meminum es teh yang disediakan Rina dan membiarkan pintu depan tidak terkunci. Ia mempunyai rencana yang telah disusun rapi.
Lalu Anto menyusul Rina ke kamar tidur. Begitu pintu dibuka ia melihat gurunya tengkurap menonton VCD dengan dibalut kimono merah tipis, lekuk tubuhnya jelas terlihat. Rambutnya yang panjang tergerai di punggungnya bagai gadis iklan shampo Pantene.
“Ganti pakaian itu Nto..”, Rina menunjuk celana pendek dan kaos tipis yang terlipat rapi di meja riasnya.

Ketika Anto sedang mencopot celananya Rina sempat melihat penis pemuda itu menyembul di balik CD GT Man-nya. Setelah selesai Anto juga tengkurap di samping Rina.
“Sudah liat film ini belum? Bagus lho untuk info posisi-posisi ngesex”.
“Belum tuh…”, Mata Anto tertuju pada posisi dimana si wanita berdiri memegang pohon sementara si pria memasukkan penisnya dari belakang, sambil meremas-remas payudara partnernya.
“mm…, itu posisi fave saya. Kalau kamu suka nanti CD itu bisa kamu ambil”.
“Thanx..”, Anto kemudian mengecup pipi gurunya.

Adegan demi adegan terus bergulir, suasana pun menjadi semakin panas. Rina kini tengkurap dengan tidak lagi mengenakan selembar benangpun. Demikian pula Anto. Anto kemudian duduk di sebelah gurunya itu, dibelainya rambut Rina dengan lembut, kemudian disibakkannya ke sebelah kiri. Bibir Anto kemudian menciumi tengkuk Rina, dijilatinya rambut-rambut halus yang tumbuh lebat.
“aahh…”
Setelah puas, Anto kemudian memberi isyarat pada Rina agar duduk di pangkuannya.
“Bu, biar Anto yang puasin ibu malam ini…”, Bisik Anto di telinga Rina. Rina yang telah duduk di pangkuan Anto pasrah saja saat kedua tangan muridnya meremas-remas payudaranya yang liat. Kemudian ia menjerit lirih saat puting susunya mendapat remasan.
“Akhh…”, Rina memejamkan matanya.
“Anto…, jilatin vagina ibu…”

Anto kemudian merebahkan Rina, dibukanya kaki gurunya itu lebar-lebar, kemudian dengan perlahan ia mulai menjilati vagina gurunya. Bau khas dari vagina yang telah basah oleh gairah itu membuat Anto kian bernafsu.
“oohh…, teruss…, teruuss…”, Rina bergetar merasakan kenikmatan itu. Tangannya membimbing tangan Anto dalam meremasi susunya. Memberikan kenikmatan ganda.
“Jilatin…, pentil itu…, oohohh”, Bagai dikomando Anto menjilati pentil clitoris Rina, dengan penuh semangat.
“Aduuhh….. Oohh…oohh…hh.. Hh…..”
“Anto…, massuukk”.

Kaki Rina kemudian disampirkannya ke pundak, dan dengan cepat disodokkannya penisnya ke vagina Rina yang becek.
“mm…”, Rina menggigit bibirnya. Meskipun lubang vaginanya telah licin, namun penis yang besar itu tetap saja agak kesulitan menerobos masuk.
“Uuhh…, masih susah juga ya Bu…”, Anto sambil meringis memaju mundurkan penisnya. Ia merasakan penisnya bagai diremas-remas oleh tangan yang sangat halus saat di dalam. Tangan Rina mempermainkan puting Anto. Dengan gemas dicubitnya hingga Anto berteriak.
“Uhh…, nakal, Ini balasannya!”, sodokan Anto makin keras, lebih keras dari saat ia memasukkan penisnya.
“aa…”.

Tiba-tiba pintu kamar tebuka! Spontan Rina terkejut, tapi tidak bagi Anto. Reza sudah berdiri di muka pintu, senjatanya telah tegak berdiri.
“mm…, hot juga permainan Ibu dengan Dia, boleh saya bergabung?”, Reza kemudian berjalan mendekati mereka. Rina yang hendak berdiri ditahan oleh Anto, yang tetap menjaga penisnya di dalam vagina rina.
“Nikmati saja…”
Reza kemudian mengangkangi Rina, penisnya berada tepat di mukanya.
“Isap… Ayoo”, sambil memasukkan penisnya. Saat itu pula Anto menghentakkan gerakannya. Saat Rina berteriak, saat itu pula penis Reza masuk.
“Ahh…, nikmat..”, Rina merem-melek menghisap-hisap penis muridnya, sementara Anto dengan puas menggarap vaginanya.
“uufff…, jilatin…, jilatt”, tangan Reza memegangi kepala Rina, agar semakin dalam saja mengisap penisnya.

Posisi itu tetap bertahan hingga akhirnya Anto keluar duluan. Maninya menyemprot dengan leluasa di lubang vagina gurunya yang cantik. Sementara Reza tetap mengerang-erang sambil medorong-dorong kepala Rina.
Setelah Anto mengeluarkan penisnya dari vagina Rina, “Berdiri menghadap tembok Bu!”
Rina masih kelelahan. Ia telah orgasme pula saat Anto keluar, namun ia tidak bisa teriak karena ada penis di mulutnya. Saat ia berdiri dengan tangan di tembok menahan tubuhnya, mani anto menetes ke lantai.
“mm…, Nto…, liat tuh punya kamu..”, seru Reza sambil tertawa. Ia kemudian menempelkan tubuhnya ke Rina. Penisnya tepat berada di antara kedua pantat Rina.
“Nih Bu rasakan punya Reza juga ya”.

Anto dengan santai menyaksikan temannya menggarap gurunya dari belakang. Tangan Reza memegangi pinggang Rina saat ia menyodok-nyodokkan penisnya keluar masuk dengan cepat. Saat Rina merintih-rintih menikmati permainan mereka, Anto merasakan penisnya tegang lagi. Ia tidak tahan melihat pemandangan yang sangat erotik sekali.
Kedua insan itu saling mengaduh, mendesah, dan berteriak lirih seiring kenikmatan yang mereka berikan dan rasakan.
“ooww…”, Tubuh Rina yang disangga Reza menegang, kemudian lemas. Anto menduga mereka berdua telah sampai di puncak kenikmatan. Timbul isengnya, ia kemudian mendekati mereka dan menyusup diantara Rina dan tembok. Dipindahkannya tangan Rina ke pundaknya, dan penisnya menggantikan posisi milik Reza.
“Anto…”, Lagi-lagi Rina mendesah saat penis Anto masuk dan pinggulnya didorong oleh Reza dari belakang.
“Ahh.. Ahh…. Dorongg…dorongg………….”
“aa.. Aa… Aa”.
“oohhkk…, kk…, kk..”, Rina berteriak keras sekali, saat dorongan Reza sangat keras menekan pinggulnya. penis Anto amblas hingga mencapai pangkalnya masuk ke vagina Rina. Saat itu pula ia merasakan penis yang berdenyut-denyut itu melepaskan muatannya untuk kedua kali.

Malam itu merupakan malam yang liar bagi ketiga insan yang akan berpisah itu. Malam yang tidak bisa mereka lupakan untuk selamanya.
















Lalu Lintas Birahi


Rudi adalah pria awal 30-an berpenghidupan lumayan dengan pekerjaan sebagai seorang pialang di suatu perusahaan sekuritas sedang. Tidak ada yang aneh dengan kehidupannya. Semua berjalan lancar. Bila ada tekanan-tekanan dalam pekerjaan bahkan membuatnya merasa bergairah untuk menjalaninya. Ini hidup katanya dalam hati.

Kehidupan seks-nya juga demikian, hampir tidak ada masalah. Ia bisa mendapatkan apabila ia ingin, tentunya dengan proses yang wajar, karena Rudi sangat menghindari ’sex shopping’ atas alasan-alasan tertentu. “Biar cinta berjalan semestinya,” yakinnya.

Sore itu market mendekati closing hours. Ia menjauhi mejanya, berjalan sebentar meregangkan otot. Hari ini ia sangat puas. Pasar sangat bersahabat dengannya. Sejumlah keuntungan berhasil dibuatnya dalam one day trade. Sebagian masuk ke dalam rekening pribadinya. “Aku memang patut mendapatkan,” pikirnya, tidak ada yang merugikan atau dirugikan, kepuasan seperti ini selalu membuatnya terangsang secara seksual. Dipandangnya sekitarnya. Ada beberapa wanita rekan kerja yang masih berkutat. Ia segera memalingkan wajahnya. Perlu beberapa tahapan untuk mengajak salah seorang dari mereka ke tempat tidur, dan itu menyita waktu dan emosinya. Lebih baik aku pulang batinnya. Ada sesuatu yang mengingatkan untuk menunda jam kepulangannya, ia tidak mempedulikan.

Dikemudikan mobilnya keluar dari basement perlahan. Beberapa anak SMU tampak bergerombol di halte dekat gedung kantornya. “Ahh..” kernyitnya. Ia terjebak di kemacetan rutin sore hari. Dirinya sudah mengingatkan agar menunda. “Instingku semakin bagus saja,” senyumnya kecut. Dilihatnya ke luar jendela mobil. Antrean mobil sepanjang kira-kira 200-an mobil tidak bergerak sama sekali. Dilihatnya ke belakang dengan putus asa. Keadaan di belakang sama buruknya dengan pemandangan di depannya.

Rudi menarik nafas dalam-dalam. Digerakkan cermin di atas ke wajahnya. “Tenang Rud, ini bukan alasan yang bagus untuk merusak 1 hari tenangmu,” katanya sambil membenarkan letak rambutnya. Tiba-tiba seseorang berseragam LLAJR mengetuk kaca mobilnya. Dengan segan ditekannya switch jendelanya. Petugas itu memberitahu kalau terjadi kecelakaan beruntun di depan dan mungkin lalu lintas baru dapat lancar paling cepat 30 menit. Dihempaskan tubuhnya ke kursi mobil. “Bagus!” ia menutup wajahnya. Itulah alasan yang paling tepat untuk merusak moodnya. Dibukanya TV mobil. Dipilihnya satu film porno kesayangannya di remote. Ditatapnya adegan-adegan itu dengan hambar. “Huh! Di tengah kemacetan nonton film porno malah menambah masalah,” sungutnya sambil mematikan. Rudi menyerah. Dimatikan mesin mobil sembari menatap ke arah kiri.

Tampak di luar gadis-gadis berseragam SMU masih bergerombol menunggu bis kota. Beberapa di antaranya duduk di trotoar. Diperhatikannya satu persatu. “Dasar gadis remaja, mereka tidak mempedulikan cara duduknya,” katanya dalam hati. Tiba-tiba darahnya berdesir. Tungkai-tungkai indah itu milik gadis yang sangat muda. Diperhatikannya lagi lebih seksama. Ada yang bertumpu dengan tangannya di belakang sehingga dadanya membusung ke depan. Wajahnya begitu bersih dan muda. Rambutnya sebahu dengan leher yang jenjang. Rudi mulai termakan fantasinya sendiri. Ia memang tidak pernah bercinta dengan gadis belia. Itukah yang diinginkannya saat ini? “Tidak,” sahutnya sendiri, “Itu terlalu gila.” sambil menatap ke depan ia tak dapat menahan diri untuk melihat kembali ke arah kirinya. Diperhatikan dengan seksama lekukan pantat yang padat itu dengan lutut indah dan kulit yang bersih. Segala gerakan gadis itu ditangkap matanya dan dialirkan ke otaknya dalam format gerakan erotis.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka tersingkap roknya. Rudi bersorak dalam hati. Diperhatikannya dengan seksama paha bagian dalamnya… begitu kencang, dan perlahan ia mulai ereksi. Kaca film mobilnya membuatnya sangat aman dalam bereksplorasi. Ia mulai menurunkan reitsleting celananya. Dibelainya lembut batang kejantanannya tanpa melepaskan pandangan dari gadis itu. Jantungnya berdetak kencang. Imajinasinya meluapkan perasaan baru yang sangat dahsyat, bercinta dengan belia. Butir keringat mengalir ke lehernya. Ditariknya beberapa lembar tissue apabila ia orgasme nanti.

Tiba-tiba para gadis itu berdiri dan berjalan menjauhi halte karena beberapa orang berkulit gelap berbadan besar memasuki halte itu. Rudi meraung keras sekali. “Arrgh!” Ditatapnya para lelaki itu. Mereka menyerupai segerombolan kera besar daripada manusia. Dilemparnya box tissue ke belakang. Ia percaya bahwa saat itu kecepatan batang kejantanannya menyusut lebih cepat dari cahaya. Dengan mengumpat ia merapatkan reitsleting celananya kembali.

Langit semakin gelap. Rupanya awan berkumpul membentuk sebuah awan gelap besar. Kilat dan guntur bersahutan, diakhiri oleh curahan air yang berirama semakin cepat dan lebat. Di dalam mobil Rudi tampak melambai-lambaikan tissue putih di atas kepalanya, tanda menyerah kepada nasib buruknya. Para gerombolan kera itu bergerak melewati depan mobilnya menyeberang ke seberang jalan. Salah seorang dari mereka memukul kap mobilnya. Rudi membalas dengan mengacungkan jari tengahnya. Ia merasa aman. Toh mereka takkan melihatnya.

Dinyalakannya mesin mobilnya karena kaca mulai mengembun. Dinyalakan stereo mobilnya sambil memandang ke kiri. Rudi hampir memekik girang. Salah seorang dari gadis SMU itu ada di sana dalam keadaan basah kuyup. Rudi memutar kepalanya untuk mencari yang lain. Ah, tampaknya ia sendirian, sesal Rudi. Tapi tunggu… dalam keadaan basah semua lekuk tubuh gadis itu menjadi tercetak jelas. Rambutnya yang basah, pakaian putihnya melilit erat tubuhnya yang sintal, payudaranya menggelembung indah dengan pantat yang bundar, Rudi kembali ereksi. Bibirnya bergetar menahan nafsu birahinya yang melintas menabraknya berulang-ulang. Matanya terasa panas. Dibukanya pintu mobilnya kemudian ia berlari mendekati gadis itu. Sengaja ia berdiri di belakangnya supaya leluasa menatap tubuh gadis itu. Betapa belianya gadis ini, tubuh yang belum pernah tersentuh oleh lelaki. Payudaranya sangat penuh menyesaki branya sekitar 34. Pinggul yang ramping dengan pantat bundar yang berisi ditopang oleh lutut dan tungkai yang indah dan bersih.

Gadis itu memutar tubuhnya dan berhadapan dengannya yang sedang menjadi Juri festival foto bugil. Rudi tergagap dan secara refleks menyapanya. Gadis itu tersenyum sambil memeluk tasnya menutupi seragamnya yang transparan. Dengan berdalih bosan di mobilnya, Rudi mendapatkan banyak alasan dan obrolan ringan di halte itu. Gadis itu bernama Dina, kelas satu SMU swasta berumur 16 tahun. Rudi tak menghiraukan secara detail percakapannya karena suara Dina terdengar sangat merangsangnya.

“Kita ngobrol di mobil yuk, capek berdiri nih,” kata Rudi.
Dina menatap ragu. Rudi menangkap maksud pandangan itu.
“Ok, begini… Kamu nggak perlu takut. Ini dompet saya. Ini kunci mobil. Di dalamnya ada semua kartu identitas saya. Kalo saya berniat jahat dengan kamu, kamu boleh buang kunci ini dan bawa dompet saya ke polisi, ok?” Dina tersenyum riang menerima dompet itu, lalu mereka bersama-sama memasuki mobil.

Di dalam mobil Dina merasa gugup. Baru kali ini ia manuruti orang asing, laki-laki lagi. Sekilas teringat pesan ibunya untuk menjaga diri, dan bayangan pacarnya yang tidak menjemputnya. Dina menjadi kesal. Dina membuka dompet itu, terdapat beberapa credit card dan kartu identitas. Diambilnya KTP lalu diselipkan di saku bajunya. “Ini cukup,” ujarnya. Dengan tersenyum acuh Rudi menerima dompetnya kembali sambil menyalakan stereo setnya. “Kamu kedinginan? saya punya kemeja bersih. Kamu bisa ganti baju di belakang. Saya janji tidak akan menegok ke belakang,” tanya Rudi penuh harap. Dina menggelengkan kepalanya.

Obrolan sore itu menjadi lancar didukung suasana gelap mendung dan derasnya hujan. Bahkan Dina pun mulai berani menceritakan dirinya. Mata Rudi mencuri pandang untuk menatap paha Dina yang tersingkap. Rudi menceritakan dirinya, pacarnya dan secara halus iapun menceritakan pengalaman seksualnya, bagaimana ia melakukan foreplay. Ia ceritakan dengan lancar dan halus hingga Dina tidak tersinggung. Rudi menangkap beberapa kali Dina menarik nafas panjang, sepertinya Dina terangsang mendengar cerita Rudi. Wajahnya mulai memerah, jemarinya memilin ujung tali tasnya. “Tampaknya ini tak cukup,” kata Rudi. Lalu ia menawarkan Dina untuk menonton VCD kartun kesayangannya. Dina berseru gembira. Lalu Rudi membuka TVcar-nya dan berkata, “Kamu tunggu di sini. Kunci pintunya. Saya mau keluar beli permen di sebelah halte itu.” Dina mengangguk pelan dan matanya menatap layar TV kecil penuh harap.

Rudi keluar mobil sambil membawa remote lalu menyalakan VCD changer dari luar mobil dengan film yang sama ia tonton sebelum hujan tadi. Ia berlari ke pedagang asongan pinggir jalan dan melirik jamnya… 5 menit dari sekarang! sambil membicarakan cuaca ke pedagang asongan itu. Dina menatap adegan di mini TV itu. Lelaki sedang menjilati seluruh tubuh wanita pasangannya. Jantungnya berdegub. Ia memejamkan mata, tetapi suara lenguhan dan desisan membuatnya kembali ke layar. Dilihatnya keluar. Ia tak bisa menemukan Rudi dari dalam mobil itu. Kembali ke layar, tertegun ia melihat lelaki itu menjilati puting susu. Tangannya menjadi dingin. Lelaki itu sekarang menjilati paha. Dina menyilangkan kaki kirinya di atas kaki kanannya. Lalu lelaki dalam film itu mulai menjilati liang kewanitaan wanita itu. Dina merasa seluruh tubuhnya gemetar, nafasnya terengah-engah. Iapun heran mengapa nafasnya begitu.

“Sorry rada lama, nggak ada kembalian. Terpaksa saya nunggu pedagangnya tukar uang,” sembur Rudi. Dina tersentak dan memalingkan wajahnya. Rudi pura-pura terkejut sambil cepat-cepat mematikan stereonya dan menutup layarnya. “Aduh, maaf.. kenapa bisa ini.. maaf Din,” kata Rudi tergagap. Lalu ia membuka CD changer dan mengambil piringan porno itu lalu mematahkan menjadi dua dan membuangnya ke luar mobil. Dina sangat terkejut melihat itu lalu berkata, “Udah deh Rud nggak pa-pa.. sorry juga aku nggak bisa matiinnya,” katanya sambil memegang lengan Rudi. Rudi menoleh pelan sambil menatap mata Dina. “Sorry?” Dina menyahut pelan. “Nggak pa-pa,” nafasnya masih terengah-engah. Inilah saatnya, batin Rudi. Now or never.

Dipegangnya lengan Dina. Ditariknya mendekat, disingkirkan tas di hadapannya. Melihat seragam putih yang masih basah dengan bra membayang itu Rudi kehilangan kontrol. Bibirnya langsung mengecup bibir Dina. Dina tersentak ke belakang kaget. Rudi memburunya. Dikulumnya bibir bawah Dina yang masih terengah-engah itu, sambil menurunkan posisi kursi mobilnya sehingga Dina tampak seperti berbaring. Dilepasnya bibir, dilanjutkan ke telinga. Lidahnya menggelitik belakang telinga Dina sambil sesekali menyeruak masuk ke lubang telinganya. Bau harum rambut Dina memancarkan bau alami gadis belia tanpa parfum, mengundang Rudi untuk berbuat lebih jauh. Dibukanya kancing seragam sekolah Dina sambil mengulum mulut Dina. Dina menggelengkan kepalanya perlahan. Rudi mengangkat kepala sejenak melihat gundukan daging padat dan kenyal terbungkus bra berkain lembut. Betapa muda dan tak berdosanya. Biarkan aku menikmati tubuh beliamu, merasakan dengan seluruh indraku untuk membuatmu menjadi ternoda. Aku ingin menyetubuhimu, menghinakan tubuh sucimu, karena aku pantas mendapatkan tubuhmu, hati Rudi berteriak.

Dibukanya bra itu lalu dengan rakus dijilat puting kiri Dina sambil meremas payudara kanannya. Dikulumnya semua daging payudaranya, seakan hendak ditelannya. Dina mengerang. Kakinya menjejak-jejak lantai mobil. Lalu Rudi memindahkan tubuhnya ke atas Dina. Dengan kasar dipegangnya celana dalam Dina. Dina tak sanggup berkata dan bergerak, semuanya begitu ketakutan.

Keingintahuan dan kenikmatan berbaur, muncul silih berganti menggempur hati, otak dan nalurinya. Saat ia merasa takut dengan perbuatan Rudi, sedetik kemudian ia merasa jiwanya melayang, sedetik kemudian otaknya memerintahkan tubuhnya agar bersiap menunggu kejutan berikutnya begitu berulang-ulang. Dina meneriakkan kata jangan sewaktu Rudi dengan kasar melepas celana dalamnya, lalu ia didudukkan di atas kursi mobil bagian atas. Rudi berpindah tempat dengan cepat ke bawah tubuhnya dan mulut Rudi mulai menjilati liang kewanitaannya seperti hewan yang kehausan. Dicengkeramnya pegangan pintu, kakinya diangkat oleh Rudi ke atas. Dina tak tahu apa yang dilakukan Rudi, tapi ia merasa ada sesuatu di dalam dirinya. Perasaan yang aneh, dimulai dari jantungnya yang berdetak lebih keras lebih cepat menjalar ke pinggulnya, sementara denyutan liang kewanitaannya membentuk impuls yang semakin kuat, semakin cepat, kakinya mengejang, pandangannya mengabur, jiwanya serasa terhempas keatas-bawah. Namun tiba-tiba semua itu berkurang. Dibukanya matanya. Tampak Rudi sedang mengamatinya dengan matanya yang menyala oleh birahi.

Rudi mengambil nafas sejenak. Ditatapnya liang kewanitaan Dina dengan rambut kemaluan yang tumbuh tak beraturan. Kemudian dilanjutkannya lagi jilatan sekitar klitoris Dina. Begitu muda, ditatapnya sebentar, liang kewanitaan belia sekarang milikku. Aku menjilatinya, aku menghisapnya.

Sekarang aku bahkan menggigitnya. Liang kewanitaan ini milikku, akan kunodai sesukaku, dengan caraku, dengan nafsuku. Akan kubuat tubuh suci ini ternoda oleh tubuhku, oleh nafsuku. Akan kutaburi tubuhnya dengan spermaku. Akan kuberi cairanku yang akan menyatu dengan dirinya sehingga ia akan selalu terkotori oleh nodaku. Rudi semakin liar dan segera menghentikan tindakannya ketika Dina mulai mengejang. Dibukanya cepat celananya, digosokkan batang kejantanannya ke permukaan liang kewanitaan Dina. Dengan mudah dimasukkannya batang kejantanannya perlahan-lahan senti demi senti, sambil mengulum dan meremas payudara kenyal Dina. Lalu dibenamkan semua batang kejantanannya. Betapa hangat, betapa nikmat. Lalu mulai digerakkan maju-mundur, semakin lama semakin cepat. Rudi mendengar suara Dina hanya, “Ssh.. sh..” terputus-putus. Lalu diangkatnya pinggul Dina. Dipercepat gerakan pinggulnya sendiri sampai tubuh Dina melengkung kaku. Kini saatnya… Rudi mengeluarkan spermanya sambil menekan dalam-dalam.

Lima belas menit setelah itu.. Dina menggigit ujung seragamnya yang lusuh, sementara Rudi merapikan rambutnya. Oh puas, dan aku sekarang benci sekali dengan gadis ini, gadis belia yang ternoda. Diambil KTP dari saku Dina lalu sambil diselipkan ke dompet ia mengeluarkan 3 lembar seratus ribu rupiah sambil mencium pipi Dina. “Ini buat kamu.” Dina menolak sambil terkaget- kaget. “Aku bukan gadis bayaran Rud..” katanya sambil mulai menangis. “Aku sayang kamu Rudii..” sambil terisak-isak. “Tapi aku tidak sayang kamu,” kata Rudi sambil meletakkan uang itu di dalam tas Dina, lalu Rudi keluar. Dalam guyuran hujan ia membuka pintu mobil, lalu menarik Dina keluar. “Lalu lintas akan lancar. Aku harus pulang, kamu juga. Kita pisah di sini. Eh Din… thanks ya?!” Dina berteriak histeris sambil lari keluar. Rudi kembali ke mobilnya mengunci pintu dan tersenyum melihat mobil di depannya bergerak ke depan.
















Anugerah Tak Terduga


Semasa SMU aku dikenal sebagai kutu buku yang bercita-cita tinggi, yang tak bisa memegang bola basket, minder terhadap urusan cewek dan tak punya pacar. Sehingga hampir setiap sabtu teman-teman melantunkan lagu Koes Plus untukku, “Sabtu malam kusendiri…” Namun ketika kami mengadakan reuni sepuluh tahun kemudian, ternyata teman-temanku justru terlihat seperti suami yang hidup di bawah bayang-bayang istri dan mertua, sedangkan aku justru mendapat pengalaman-pengalaman seks yang berkesan.

Tanpa sepengetahuan mereka, pengalaman pertamaku terjadi justru ketika aku masih mereka kenal sebagai kutu buku. Berawal dari kepindahan tugas ayahku ke kota lain, aku si rangking satu di sekolah diminta kepala sekolah untuk tidak ikut pindah dan menyelesaikan sekolahku di SMU itu, karena ada undangan dari Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia agar rangking pertama dari SMU-ku kuliah di sana. Demi masa depan, orang tuaku setuju dan menitipkanku di rumah temannya yang kebetulan anaknya, Budi, adalah teman sekelasku, sehingga aku menghabiskan kelas tiga SMU seribu kilometer jauhnya dari keluarga yang kucintai.

Kamar kost-ku tidak berada di ruang utama bangunan, tetapi cukup strategis untuk memonitor penghuni dan tamu yang keluar masuk rumah itu. Malam minggu itu seluruh keluarga temanku menghadiri pesta pernikahan sepupunya, meninggalkan aku si kutu buku asyik belajar sendiri. Untuk menghilangkan kantuk, aku menuju dapur di bangunan utama bermaksud membuat secangkir kopi dan semangkok mie instan. Tiba-tiba terdengar pintu pagar terbuka, rupanya Yumul, adik Budi, pulang lebih awal ditemani pacarnya Wadi. Mereka sudah pacaran setahun lebih dan kelihatannya telah direstui oleh kedua orang tuanya, karena Wadi meskipun baru berusia 21 tahun tetapi sudah hampir menyelesaikan kuliahnya dan Yumul berusia 17 tahun menjelang kelas tiga SMU.

“Tuh liat, kamarnya si kutu buku lagi terang. Seperti biasa, paling-paling dia lagi asyik ngapalin rumus-rumus yang njelimet, jadi kita aman di sini,” terdengar suara Yumul. Selang beberapa menit setelah mie dan kopiku siap hidang, aku beranjak menuju kamarku, namun aku terkesima karena di ruang tamu kulihat pemandangan yang jauh berbeda dengan rumus matematika yang sedang berputar di otakku. Yumul sedang merem-melek karena buah dadanya sedang dikulum Wadi. Karena khawatir mereka tahu kehadiranku bila kuteruskan langkahku maka aku berhenti, dan dengan hati berdegup terpaksa kuikuti lakon itu. Wadi terus menghisap kedua puting dari bukit mini namun ranum langsat, sembari tangannya menyusup ke dalam gaun pesta Yumul, dan seketika membuat Yumul menggeliat lirih, “Aahh.. uhh..” Berdasarkan ilmu biologi, jari tangan Wadi menemukan klitoris sensitif Yumul.

Sambil mendesah, tangan Yumul mencoba melakukan serangan balasan dengan mencari persembunyian meriam Wadi, meskipun harus bersusah payah melepas ikat pinggang, membuka reitsleting, memelorotkan celana panjang dan menyusup ke dalam benteng terakhir celana dalam. Wadi yang sudah tahu arah serangan, tetap saja tersentak dan mengerang sambil menekan pantatnya ke depan. Yumul terlihat lebih cekatan, mengeluarkan meriam Wadi dan mengulumnya hingga menekan tenggorokan. Wadi yang sempat terkesima sesaat, tergopoh-gopoh menyusun posisi untuk dapat memelorotkan celana dalam Yumul dan melahap kemaluan yumul dengan rakus sambil jari tengahnya merogoh ke dalam liang kewanitaan Yumul. Sambil berbaring mereka membentuk posisi enam sembilan dan terdengar duet alunan merdu. “Mmmh.. nyam-nyam.. sluurrp.. yessshh..”

Setelah merasa puas tiba-tiba Wadi berdiri, dan Yumul bagai telah hapal akting selanjutnya, juga ikut berdiri. Mereka berdekapan erat, berpagutan bibir, dan menggoyangkan pantat saling bertabrakan. “Astaga, mereka bersengggama,” pikirku sambil menelan ludah dan mengusap keringat saking menghayati ketegangan adegan.

Entah telah berapa puluh kali mereka saling menghunjam, tiba-tiba kudenggar Yumul berkata lirih, “Mas, kali ini dimasukkin beneran yach, jangan cuma dioles-oles.”
“Kamu nggak takut,” tanya Wadi dan dijawab dengan gelengan kepala Yumul.
“Nanti kamu nyesel,” tanya Wadi dan sekali lagi Yumul menggeleng sambil berkata, “Khan kata Papa kita akan menikah dua tahun lagi, yang penting jangan sampai hamil dulu.”
Wadi menghentikan goyangannya dan menatap Yumul dalam-dalam, “Jangan sekarang, kita beli kondom dulu.”
Yumul menggelayut manja dan merengek, “Yumul nggak tahan, pinginnya sekarang, nanti maninya mas jangan dikeluarin di dalam tapi di luar saja, seperti biasa.”
Meskipun adegan makin menegangkan, namun aku menghela napas lega, “Ah syukurlah, mereka belum bersenggama, tapi mereka akan… bagaimana cara mencegahnya?” Pikiranku buntu untuk bisa menghentikan mereka, karena jantungku terlalu kencang berdegup tak memberi kesempatan otakku berputar, sedangkan ujangku ikut-ikutan tegang tanda setuju adegan selanjutnya.

Nun jauh disana, Wadi telah menidurkan Yumul di atas karpet, Yumul membuka gerbang kangkangan kaki, dan laras torpedo Wadi mulai diarahkan, perlahan maju, mendekati liang, menempel dan.. tiba-tiba Wadi menghentikan gerakannya, menatap Yumul, sambil menelan ludah berkata, “Sebaiknya Kamu yang di atas, biar menekannya hati-hati, biar nggak terlalu sakit, soalnya kata orang hubungan yang pertama sakit buat perempuan.” Yumul yang sedari tadi memejamkan mata menghitung mundur saat terobosan pertama, kaget dan menjawab, “Yumul sudah merasakan sakitnya waktu Mas memasukkan jari ke memek Yumul.” Wadi belum mengerti maksudnya tapi kurang lebih Wadi harus tetap di atas dan menekan meriamnya ke dalam liang kewanitaan Yumul. Maka sekali lagi Wadi mengambil ancang-ancang, meluruskan, perlahan menekan dan akhirnya… “Kriingg…” suara telepon berdering, Wadi dan Yumul terkejut dan setelah sadar itu suara telepon mereka saling tersenyum, “Oo cuma telepon.. tapi bagaimana kalau si kutu buku mendengar dering telepon dan datang ke sini mau ngangkat telepon? Cepat Mas angkat dulu teleponnya biar nggak berdering terus,” Kata Yumul. Dengan mengendap Wadi mengangkat telepon, sesaat wajahnya serius, menutup telepon, sekonyong-konyong mengenakan kembali celana dan pakaiannya dan tergesa-gesa berkata, “Aku harus pergi, Mama sakit keras..” seraya menuju pintu keluar. Yumul yang berharap dapat melanjutkan adegan penerobosan pertama hanya terbengong tanpa sempat melakukan sesuatu kecuali mengucapkan, “Salam buat Mama, semoga lekas sembuh!”

Terkesima oleh pembatalan sepihak yang dilakukan sekejap, Yumul hanya dapat memandangi tubuhnya yang telah bugil. Perlahan tangannya membelai bibir kemaluannya seolah membujuk agar tidak sedih. Lalu Yumul memutuskan untuk menghibur diri dengan mempermainkan klitorisnya sendiri. Aku yang merasa drama telah berakhir bermaksud menyelinap ke kamarku, namun Yumul menangkap ada gerakan di dekat dapur. Sambil menutup tubuh seadanya ia menghampiri dapur dan memergokiku berdiri di sana. Yumul kaget dan terpaku, akupun gemetar tak mampu mengucap maaf. Antara malu, menangis, marah dan tertawa Yumul berkata, “Bang Obi dari tadi melihat kami?” Aku menunduk, tak berani menatap dan berkata lirih, “Maaf…” Sejenak hening, lalu tiba-tiba Yumul tesenyum simpul, “Hi, ada burung apa di celana Bang Obi..” Rupanya meriamku belum turun dan menyembul diantara celana hawaiku, karena memang kebetulan aku tidak pernah memakai celana dalam bila menjelang tidur. Belum hilang kagetku, tiba-tiba Yumul maju menangkap burungku dan mengelus, sementara aku tak bisa mundur meskipun ingin, karena kakiku terlalu gemetar.

Melihat aku tak berdaya bagai patung, Yumul memelorotkan celanaku sehingga burungku tak bersangkar lagi, dan seperti telah kulihat sebelumnya, Yumul mulai menjilati dan mengulum batang kejantananku. Aku semakin gemetar dan gagu serta tak mampu menghindar dari wanita birahi yang belum sempat terlampiaskan dengan Wadi. Yumul menarik pundakku turun lalu mendorong untuk merebahkanku. Di hadapanku terpampang gadis manis berambut ikal yang selama ini hanya kukenal keayuan wajahnya, kini memamerkan kemulusan tubuhnya. Lehernya yang jenjang menyatu dengan pundaknya yang lebar. Sembulan dua gunung kecil dengan puting centil merah muda, padat menantang selaras lekukan pinggul. Bulu-bulu halus di selangkangannya tak mampu menyembunyikan bibir tebal liang kewanitaannya dan mancungnya klitoris yang masih sedikit memerah akibat gesekan meriam dan jari Wadi.
Bidadari 17 tahun itu melangkahkan kaki jenjangnya berdiri mengangkangiku dan perlahan turun. Sambil memegang batang kejantananku Yumul meluruskan liang kewanitaannya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Yumul langsung menekan.., “Blesss…” mulai terjadi penetrasi, aku merasakan sempit dan seretnya. “Yumul..” hanya itu yang keluar dari mulutku tak tahu apa lanjutan kalimatnya. Yumul berhenti sejenak, mengatupkan mulutnya rapat-rapat, sedikit menutup matanya. Antara nikmat dan sakit, perlahan Yumul menekan lebih dalam…, “Blesss…” aku merasakan batang kejantananku didekap dan diremas hangat oleh liang kewanitaannya. Yumul berhenti lagi sejenak, menengadahkan wajahnya sambil menggigit bibirnya sendiri dan memejamkan mata. Lalu kembali perlahan Yumul menekan…, “Blesss…” terus menekan perlahan hingga selangkangan kami beradu, Yumul menghentikan tekanannya. Ah, burungku telah bersangkar di dalam liang kewanitaan Yumul dan merasakan pijatan dinding kewanitaannya. Yumul menatapku sambil tersenyum, akupun berusaha tersenyum sementara detak jantungku sudah tak beraturan dan keringatku mengalir dimana-mana.

Yumul menggoyangkan pantatnya kekiri kekanan dan berputar, stress-ku mulai mengendur dan mulai merasakan nikmatnya pijatan nikmat terhadap batang kejantananku. Lalu perlahan Yumul menaikkan dan menurunkan kembali pantatnya, semakin lama semakin cepat. Berulang naik turun, kiri kanan, berputar. Ketika melihat senyumnya yang menandakan kepuasannya, tanpa sadar akupun ikut menaikturunkan pantatku seirama dengan gerakannya. “Uhhh, mentok Bang.. enaak.” Karena batang kejantananku memang sudah tegang lama, maka tak lama kemudian kurasakan sesuatu mendesak untuk dimuncratkan. “Uhh.. aku mau keluar Yumul, uhh..” kataku tak jelas. “Iya.. hh.. tapi.. hh.. jangan dulu Bang, hh.. tunggu Yumul, hh.. nanti dikeluarinnya Bang.. hhh diluar saja..” kata Yumul sambil mempercepat goyangannya. Aku tak tahu bagaimana cara menahan pancaran yang siap mendesak keluar, hingga akhirnya, “Aaahh…” dan “Crottt.. crottt..” aku mengeluarkan maniku di dalam liang kewanitaan Yumul. Meskipun tahu aku sudah ejakulasi, Yumul terus bergoyang, seolah tak peduli atau mungkin karena iapun sedang menuju puncak. Tiba-tiba Yumul berteriak panjang dan keras sekali, “Aaahhhww…” dan terkulai lemas di atasku. “Sssttt..” kataku, karena takut terdengar entah oleh siapa.

Tanganku yang sedari tadi berperan sebagai penonton, memberanikan diri mendekapnya dan beberapa saat kami berpelukan erat. Aku penasaran dan tak menyia-nyiakan kesempatan untuk meraba buah dadanya, dan Yumul sedikit mengangkat badannya memberi kesempatan dan ruang gerak bagi tanganku agar leluasa meremas dan bahkan mempermainkan putingnya. Dan mulutku tak mau ketinggalan jatah, ikut mencium, mengulum dan mengisap puting yang baru mekar di bukit yang kenyal. Sementara dibagian bawah, batang kejantananku terus bersangkar di dalam liang kewanitaan Yumul, namun semakin lama semakin lunglai dan akhirnya keluar dari lubangnya, “Plup..”

Yumul menatapku dan berkata, “Bang Obi, tadi ngeluarinnya di dalam yaa..”
Aku mengangguk pelan.
“Bagaimana kalau Yumul hamil, Bang?” tanyanya.
“Yumul tetap dalam posisi tegak atau di atas, dan biarkan maniku mengalir keluar kemaluanmu sesuai gravitasi bumi,” entah teori apa yang kukatakan tapi Yumul menurut.
Setelah Yumul yakin bahwa maniku telah keluar semua ia beranjak dan berkata, “Kalau Bang Obi melaporkan hubunganku dengan Mas Wadi yang sudah cukup jauh, Yumul juga akan laporkan pada orang tua Bang Obi dan Guru bahwa Bang Obi telah menggauli Yumul, dan masa depan kita sama-sama hilang,” Yumul setengah mengancam dan segera beranjak dari tubuhku.

Yumul memperhatikan betapa banyak semprotan yang keluar dari liang kewanitaannya dan betapa banyak maniku yang mengalir kembali keluar dari liang kewanitaannya dan membasahi batang kejantananku. Selintas Yumul tersenyum namun tiba-tiba ia terkejut karena di batang kejantananku ada darah merah cukup banyak. “A..Aku masih perawan?!, oh.. kukira aku sudah tidak perawan karena tusukan jari Mas Wadi.” ia tampak menyesal dan segera meraih gaun pesta, celana dalam dan bra-nya serta berlari menuju kamarnya. Sayup-sayup terdengar gemercik air siraman mandi Yumul, lalu senyap.

Ketika keluarganya pulang dari undangan, aku sedang membersihkan keringat, bercak-bercak mani dan darah yang berserakan di lantai. Kukatakan bahwa mie instanku tertumpah. “Yumul sudah tidur, tadi pulang diantar Mas Wadi,” kataku ketika mereka menanyakan Yumul.

Keesokan harinya kudengar Yumul seharian mengurung diri di kamarnya dan hanya sesekali keluar untuk makan. Karena aku memang jarang ngomong sama Yumul tak ada yang curiga kalau Yumul sama sekali enggan ngomong denganku. Aku menyesal telah membuat Yumul menjadi pendiam dan aku berdoa agar dia dapat ceria kembali. Rupanya doaku terkabul. Tiga minggu kemudian kulihat ia sangat ceria, dan pada suatu kesempatan ia menghampiriku. “Maafkan Yumul ya Bang dan Bang Obi juga sudah Yumul maafka,” bisiknya mesra. “Koq?” aku tulalit. Seolah mengerti maksud pertanyaanku, Yumul menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan Mas Wadi, dan dia yakin bahwa perawanku telah hilang saat dia masukkan jarinya padaku, dan keluargaku yakin murungku selama ini adalah karena mamanya mas Wadi diopname, jadi masa depanku cerah lagi.” Hanya itu yang dikatakan dan ia berlalu dengan ceria, gaya manja khas belia 17 tahun.
















Gairah Pertamaku


Kesan pertama melakukan sesuatu bagi orang yang belum pernah dialamainya, sungguh sangat mengasyikkan. Begitu pula dengan kesan pada pengalaman pertamaku merasakan hangatnya tubuh wanita, yang mana terjadi pada waktu aku kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Walau sekarang aku bekerja di bidang travelling di kota Jakarta dan menjabat sebagai eksekutif di perusahaan tersebut, namun pengalaman pertama mencicipi nikmatnya cinta sungguh sulit dilupakan.

Waktu itu aku lagi suntuk, baru masuk kuliah 5 bulan. Selesai mengikuti ujian semester yang melelahkan, aku menghabiskan waktu bermain billyard di diskotik Crazy Horse Jl. Magelang Km 4 Yogyakarta. Mungkin dari para pembaca ada yang pernah kuliah atau pernah tinggal di Yogyakarta pasti tahu diskotik tersebut. Aku dengan dua teman kostku bermain sampai 10 game, dan waktu sudah menunjukkan pukul 11:30 malam. Kami sepakat untuk mengakhiri main billyard dan bersiap untuk pulang. Namun sewaktu aku akan membayar di kasir, sempat kulihat ada seorang wanita muda masuk ke tempat billyard tersebut dan langsung menghampiri salah satu meja yang ada di sana. Aku hanya berpikir mungkin salah satu score girl yang bekerja di tempat itu, lalu aku pun acuh saja dan berjalan menuju pintu keluar bersama kedua temanku.

Tidak sampai semenit, terdengar ada kegaduhan di salah satu meja billyard, serempak kami menoleh ke arah situ dan kulihat wanita muda yang baru masuk tadi sedang memaki-maki seorang laki-laki yang saat itu sedang memangku salah satu score girl. Kami bertiga jadi tercengang melihat keributan itu, apalagi sewaktu perempuan muda yang ternyata cantik itu menampar pipi pria yang sedang dimaki-maki tersebut. Kemudian si wanita langsung berlari menuju pintu keluar sambil menangis, melewati kami yang masih terperangah. Kami pun akhirnya juga keluar menuju tempat parkir motor. Aku mengendarai sendirian, sedang kedua teman kostku itu berboncengan.

Baru 500 meter dari tempat billyard tersebut, kami yang tadinya berkendara motor sambil mengobrol terkejut begitu melihat wanita muda yang menampar seorang pria di tempat billyard tadi, terpaku berdiri di pinggir jalan sambil terisak menangis.
Salah satu temanku menegur si wanita, “Mbak udah malam begini mau kemana..?”Tapi si wanita itu hanya menutup wajahnya dan tangisannya terdengar semakin keras. Kami saling bertatapan. Melihat gelagat begitu, aku meberanikan diri untuk menghampirinya.
“Maaf Mbak, kami bertiga nggak ada niat jahat, cuma mau menawarkan bantuan, kalau memang Mbak mau kami bisa mengantar Mbak pulang.” ujarku sungguh-sungguh.
Melihat tetap tidak ada komentar dari si wanita, aku pun kembali menyambung, “Bagaimana Mbak..? Saya serius, tapi kalau memang Mbak nggak mau ya sudah kami nggak bisa memaksa. Lagian apa Mbak nggak khawatir sudah larut malam begini masih di tengah jalan, kalau kelihatan orang Mbak lagi menangis, bagaimana nanti..?”

Kami bertiga saling pandang menunggu jawaban dari dia, lalu si wanita itu pun mengangguk tanpa satu patah pun kata keluar dari mulutnya. Karena yang mengendarai motor sendirian itu aku, dia pun membonceng naik ke motorku.
“Pram, aku tak pulang dulu ya? Udah malam nih, berani kan kamu sendiri?” salah satu temanku bertanya kepadaku.
“Ya udah nggak apa-apa kok, kalian pulang duluan saja..!” jawabku.
Lalu kami berpisah, kedua temanku langsung meluncur pulang ke kost, sedang aku akan mengantar pulang si wanita muda itu.
“Rumah Mbak dimana..?” aku bertanya memecah kebisuan di antara kami.
“Terus saja ke arah selatan.” jawabnya singkat dan terdengar sengau karena sambil menangis.

Jalan-jalan di kota yang terkenal dengan kota gudegnya itu pada waktu malam sudah sepi, aku mengendarai motorku perlahan menunggu petunjuk dari wanita di belakangku ke arah mana dia pulangnya. Kurang lebih 10 menit dia diam saja.
Aku kembali bertanya, “Maaf Mbak, di daerah mana sih rumahnya..?”
Si wanita hanya terdengar menghela nafas, “Taulah Mas, aku malas pulang, terserah Mas mau mengajak kemana.” jawab si wanita sekenanya.
Terus terang aku jadi bingung dengan jawabannya itu. Maksudku benar-benar ingin mengantar dia pulang malah jawabannya begitu. Jujur saja dahulu aku masih polos dan lugu, belum mengerti dan bodoh untuk jawaban seorang wanita seperti itu. Kalau sekarang sih justru aku yang menawari menginap di hotel atau motel.

Setelah 15 menit berputar-putar, aku bingung mau diajak kemana nih orang..?
Akhirnya aku hanya bilang, “Mbak, sudah semakin malam nih, bagaimana..? Aku musti pulang, soalnya besok pagi aku harus kuliah.”
Setelah terdengar terbatuk kecil, dia menukas, “Mas kost kan..? Kalau nggak keberatan, aku ikut Mas ke kost aja, tapi kalau nggak mau ya aku turun disini saja deh, nggak apa-apa kok.”
Aku jadi semakin bingung dengan jawabannya itu.
“Ah gimana ya..? Nggak apa-apa nih kamu ke kostku..?” tanyaku setengah tidak percaya.
Sebagai jawabannya, si wanita yang duduk membonceng di belakang motorku itu malah melingkarkan tangannya memeluk pinggangku. Mimpi apa aku semalam sampai ketemu wanita macam begini.

Aku menjalankan motorku ke arah kost sambil tubuhku merinding, karena dua bola daging di dada si wanita itu menyentuh punggungku begitu dia merapatkan tubuhnya memeluk tubuhku. Sesampainya di kost, kulihat kamar kedua teman kostku sudah gelap, menandakan mereka sudah terlelap. Rumah kostku memang hanya dihuni bertiga, pemilik rumah tidak tinggal disitu, jadi kalau ada teman atau saudaraku yang menginap disitu, mau tidak mau ya tidur di kamarku. Begitu juga yang kualami sekarang, aku jadi bingung, masak sih aku tidur satu kamar dengan perempuan yang belum kukenal?

Setelah membersihkan badan dan mengganti baju, aku menawari dia minum, “Mau minum apa Mbak..?”
Sambil tersenyum manis dia hanya menyahut, “Air putih saja lah, tapi ngomong-ngomong maaf ya aku jadi merepotkan.”
“Allaa .. nggak apa-apa.” ujarku, namun di dalam hati aku berdebar bagaimana ya nanti aku tidur satu kamar dengan wanita yang baru 2 jam kukenal.
Setelah bisa menenangkan hati, aku menyambung, “Oh iya Mbak, mau ganti baju..? Pakai saja kaosku, sebentar ya kuambilkan, oh iya kalau Mbak mau mandi, biar aku ambilkan handuk sekalian ya..?”
“Aduh Mas, sudahlah jadi ngerepotin nih, sebenarnya sih kalau bisa aku juga mau pinjam celana pendek saja, boleh..?” si wanita berkata dengan wajah masih sembab.
“Nggak apa-apa kok, sekalian aja ya? tapi kalau baju dalam cewek aku nggak punya.” ujarku sambil tersenyum memberanikan diri menggodanya.

Si wanita tertawa geli mendengar perkataanku tadi.
“Aduuh.., cantik sekali jika dia tertawa..” kataku dalam hati.
Sambil tersenyum, si wanita mengulurkan tangannya dan berjabat tangan denganku, “Widya.” dia memperkenalkan diri.
“Namaku Pram, nama kamu bagus Mbak.” jawabku sekaligus memuji namanya sunguh-sungguh.
Dia hanya tersenyum menanggapinya, lalu diambilnya celana, kaos dan handuk dari tanganku dan langsung menuju kamar mandi.

Sambil menunggu Widya mandi, aku menata kamar, kuambil bantalan sofa di teras dan kuatur sedemikian rupa berjejer di lantai membentuk tempat tidur. Beberapa saat kemudian Widya keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos dan celana pendekku yang terlihat kebesaran, jadi terlihat lucu di mataku, namun bagiku tetap terlihat cantik dan manis. Kemudian kami pun terlibat obrolan hangat di serambi depan kamarku, sambil menikmati minuman hangat yangkusodori.

Kuperhatikan Widya memang cantik, putih dengan rambut sebahu diikat dengan karet gelang, dadanya membusung penuh, bibirnya merah segar walau tanpa polesan lipstik maupun kosmetik lainnya. Tingginya sekitar 165 cm, dengan body yang bagiku sangat proposional. Kutaksir umurnya walau lebih tua dariku tapi tidak lebih dari 25 tahun. Dia menceritakan bagaimana tadi dia sakit hati dengan pacarnya yang sedang memangku wanita lain, bagaimana sikap pacarnya itu akhir-akhir ini. Pokoknya dia mencurahkan semua isi hatinya kepadaku, dengan rokok yang tidak berhenti mengepul dari bibir seksinya, sedang aku hanya termangu mendengarnya.

Tidak terasa 1 jam lamanya kami mengobrol dan mataku semakin terasa berat.
Lalu aku memotong pembicaraanya, “Mbak, aku mau tidur dulu ya..?” kataku dan Widya masih asyik dengan sebatang rokoknya.
“Oh ya, silahkan Mas, nggak apa-apa, kan aku masih mau menikmati malam ini..!” jawabnya.
Kemudian aku masuk ke kamar, kutinggalkan Widya yang masih duduk di teras depan kamarku, langsung kurebahkan tubuhku di bantalan sofa yang kuatur sedemikian rupa di lantai membentuk tempat tidur.

Entah berapa lama aku terlelap, tiba-tiba aku terbangun karena merasakan geli di sekitar selangkanganku. Masih setengah sadar kurasakan ada sesuatu yang membuat kelakianku berdenyut-denyut bercampur geli. Begitu kubuka mataku, bagai disambar geledek rasa terkejutku, di keremangan lampu tidur, aku melihat Widya menindih pangkal pahaku dan jari di tangannyayang mungil itu tengah mengelus-elus batang kejantananku yang sudah terbuka lepas dari celanadalamku, sedang sarung yang biasa kupakai kalau aku tidur itu sudah terbuka seluruhnya. Sedang bibir dan mulutnya tengah asyik menciumi pangkal dari kemaluanku.

“Mbak..! Kk.. kkhh.. kamu lagi.. lagi.. ngapain…?” kata-kataku tercekat di kerongkongan menyadari semua ulahnya.
Sungguh kupikir aku sedang bermimpi, namun begitu kucubit pipiku sendiri terasa sakit, baru aku sadar itu memang nyata. Ya Tuhan! terus terang aku benar-benar memang belum pernah diperlakukan demikian oleh wanita, walau sudah 2 kali pacaran.

Begitu tahu aku sudah terbangun dan sadar sepenuhnya, Widya melirik ke arah bola mataku, dia tersenyum sambil tangannya tetap mengelus batang kemaluanku.
“Hmm.., boleh kan aku memberi sesuatu sekedar membalas kebaikan kamu..?”
Tubuhku gemetar dan keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku. Perlahan aku berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuhnya.
Masih tergagap aku menanggapinya, “Ta.. ttt.. tapi, eeeng.. Mbak.. eee.. kamu.., eh, Mbak nggak perlu begini..”
Perlahan Widya beringsut ke atas dan berbisik pelan di telingaku, “Mbok jangan panggil aku Mbak dong..?” sambil jemari di tangannya masih tetap mengelus rudalku.

Usahaku untuk melepaskan diri sepertinya semakin sulit, karena tubuh Widya sekarang sudah menindih tubuhku.”Lalu..? Aku.. eee.., musti panggil apa..? Kan umur Mbak lebih tua..?” tanyaku terbata-bata.
Tangan Widya sekarang mulai mengurut kemaluanku perlahan dari atas terus ke bawah, demikian berulang-ulang. Sontak aku kelojotan menerima perlakuannya.
“Terserah deh.., mau panggil apa, yang penting aku sekarang mau memberi hadiah spesial buat kamu sayang, pasti kamu akan sangat menikmati.”
Suaranya terdengar sangat seksi di telingaku, karena memang saat itu mulutnya sedang menciumi daerah belakang telinga kiriku. Mataku terpejam menikmati buaian gairah dan hembusan kenikmatan yang diberikan Widya melalui remasan tangan di batang kemaluanku.

“Mbak.., oohhh.. akhh.. aa.. aku.. belum pernah.. eenggg.. belum pernah diii.. ee.. begini.. sama.. eee.. perempuan.., Mbak..” masih tergagap aku dengan polosnya terus terang ke padanya.
Sementara batang kejantananku tambah berdenyut keras diremas-remas dan diurut oleh tangan Widya yang bagiku sangat terampil.
Kuperhatikan Widya tersenyum, “Aku tau sayang, kamu memang baik, sangat baik malah, dan kamu sangat polos, aku sangat… hmmm.. aku senang jika aku bisa merasakan keperjakan laki-laki yang masih lugu seperti kamu..” kata-kata terakhir Widya terdengar malu-malu.
“Tapi Mbak, eengg.. apa Mbak.. ee.. nggak merasa bersalah..? Kan Mbak sudah punya pacar..?” sahutku.
Kembali dia tersenyum dengan manisnya, lantas Widya menjawab, “Sudahlah Pram sayang, jangan omongin dia lagi ya..? Pokoknya aku malam ini milik kamu, titik..! Lagian kan aku tadi bilang kalau.. eeeng.. terus terang saja, aku ingiiinn banget mencicipi keperjakaan… hhmmm… jangan marah ya..?”

Mendengar perkataan Widya tadi, aku jadi senang, “Kenapa mesti marah..?” kataku dalam hati.
Selesai Widya berkata begitu, mulutnya mulai mendarat di bibirku, dilumatnya bibirku dengan lembut, kubalas lumatan bibirnya dengan penuh gairah, sementara jemari tangannya semakin keras mengayunkan batang kemaluanku naik turun. Perlahan dilepaskan lumatan mulutnya pada mulutku, bibirnya menelusur perlahan ke arah leherku, terus ke bawah bermain di sekitar dadaku, dijilatinya putting di dadaku. Aku kegelian.

Setelah puas bermain di dadaku, mulut Widya terasa menjalar ke bawah melewati perut langsung ke pusat kemaluan di selangkanganku. Kulirik ke bawah bertepatan dengan saat itu matanya sedang menatapku, lalu dia tersenyum, membuka mulutnya dan sedetik kemudian, “Aaahhh.. God..!” jeritku dalam hati, karena mendapati bibir mungilnya yang terbuka tadi sudah mencaplok kepala di batang rudalku. Diturunkan kepalanya dan otomatis batang kemaluanku terus tenggelam di dalam mulutnya. Demikan terus mulut Widya menghisap kemaluanku.
Di sela hisapan dan jilatan mulutnya, Widya memuji kemaluanku, “Pram.., hmmm… aku sudah menduga.., hhmm.. punya kamu ini paling nggak ada 16 cm, lumayan sih.. tapi eenggg.., lingkarannya ini lho, wahhh..! Bisa dibayangin.., tanganku aja nggak muat megangnya, apalagi.. enngg.., masuk ke memekku yah..?” malu-malu Widya mengatakan begitu dengan wajahnya yang bersemu merah.

“Mbak.., oouuhh.., Mbak.. enak Mbak, mulut kamu bikin punyaku kayak mau meledak nih..!” desahanku keluar karena tidak tahan dengan mulut dan bibirnya yang menggarap sekujur rudalku.
“Jangan Pram! Jangan meledak sekarang! Ntar aja ya.., di dalam punyaku..?”
Kontan Widya menyudahi aksinya, lantas dia menyambung perkataannya, “Ngomong-ngomong, kamu belum pernah kan mencicipi kemaluan cewek..? Mau nggak..?”
“Glek!” aku hanya menelan ludah membayangkan tawaran yang selama ini hanya dalam mimpiku.
“Eeeee.., kayak apa sih rasanya..? Di film BF kayaknya nikmat banget menjilat memek cewek..”
Widya tertawa geli mendengar kepolosanku, “Memang kok, makanya dicobain deh, sebentar ya..?”

Widya bangkit dari tubuhku, dia berdiri di atasku dan tanpa malu-malu lagi Widya melorotkan sendiri celana pendek yang dikenakannya sekaligus celana dalamnya, namun kaosnya tidak ikut dilepas. Melihat aksi wanita cantik itu, aku hanya bengong dan berkali-kali menelan ludah menahan nafsu yang kian memburu. Lalu tanpa diduga, Widya berdiri tepat di atas wajahku yang masih tiduran di lantai, dikangkanginya kedua kaki jenjang milik Widya itu, hingga bulu-bulu lebat di sekitar selangkangannya jelas terlihat yang diantara bulu-bulu tersebut terlihat menyempil secuil daging kemerahan menutupi lubang kemaluan milik Widya yang sangat indah.Sepertinya Widya membiarkanku menikmati sesaat pemandangan indah yang baru kali ini kunikmati.

Sambil tersenyum, perlahan Widya menurunkan tubuhnya, berjongkok di atas dadaku. Sudah ratusan kali aku menelan ludahku sendiri menahan gejolak gairah yang benar-benar baru pertama kali sensasi yang diperlihatkan wanita seperti ini dalam hidupku. Dengan posisi dimana Widya duduk di atas dadaku, kemaluan Widya yang hangat dengan bulunya yang lebat dan sedikit kebasahan terasa menyentuh kulit di dadaku. Perlahan dibuka kedua paha Widya semakin melebar, memperlihatkan semakin jelas bentuk kemaluan seorang wanita, karena kemaluan Widya sekarang hanya berjarak sekitar 10 cm di depan wajahku.

Kuperhatikan dengan seksama, “Ooo, begini toh memek cewek itu..!” kataku dalam hati.
Tampak jelas sekarang secuil daging kemerahan yang tadi terlihat, yang ternyata adalah bentuk dari bibir luar kemaluan wanita. Terlihat sedikit terbuka, memperlihatkan bibir bagian dalam lubang kemaluan milik Widya tersebut. Sementara di bagian pucuk atas bibir kemaluan itu bertengger dengan indahnya secuil daging berwarna merah muda menonjol keluar. Aku menduga ini pasti klitoris atau kelentit wanita.

Ada sekitar 3 menit aku terpana memperhatikan semua pemandangan dahsyat yang baru kali ini kunikmati dalam hidupku.
“Aduuhh..!” aku menjerit kecil kaget ketika tangan Widya mencubit pipiku.
“Iiihh.., kamu ngeliatin apa sih Pram..?” Widya bertanya pura-pura tidak tahu.
Wajahku terasa panas menahan malu.
“Cuma mau dilihatin aja ya..?” kembali Widya membuatku sedikit kikuk.
“Eehh.. ohh.. nggak, habis punya kamu bagus sih..!” aku menjawab sekenanya, karena tidak tahu apa yang harus kukatakan.
“Ah masa sih..?” sahutnya, lalu seperti memancing gairah kelakianku, jari telunjuk di tangan Widya mengusap-usap bagian klitorisnya sendiri, dipelintir sedemikian rupa hingga sepertinya benda kecil di kemaluan Widya itu tambah mencuat keluar.

“Masa sih memekku bagus heh..? Bagus apanya..? Kalau bagus kok cuma diliatin aja..? Heh..?” Widya menyambung perkataannya yang terdengar suaranya sangat seksi.
Selesai berbicara, perlahan Widya menggerakkan pantatnya beringsut ke depan, menyodorkan kemaluannya seperti dipersembahkan kepada mulut dan bibirku. Sekarang jarak liang vagina Widya dengan wajahku hanya tinggal sekitar 5 cm. Dan kontan merebak aroma khas kemaluan seorang wanita menusuk hidungku. Sebuah aroma dan bau yang juga baru kali ini aku merasakannya. Begitu harum dan lembut seperti bau daun pandan. Sesaat aku memejamkan mata menikmati aroma yang tercium lembut, gurih menembus hidungku.

“Iiihhh.., nih anak..! Ngapain sih..? Kayaknya kok dari tadi cuma ngeliatin aja, sekarang cuma mencium baunya aja..!” suara Widya sontak membuyarkan lamunanku.
Kulihat wajahnya terlihat cemberut. Aku tersenyum melihat ulahnya.
“Iya Mbak! Mosok nggak boleh sih aku menikmati dulu harumnya kemaluan Mbak..? Beneran kok Mbak, memek Mbak haruummm… banget..!” aku mencoba merayu Widya.
Langsung ditanggapi olehnya, “Iya apa..?! Tapi katanya mau mencoba ngerasain memek cewek, kok didiamkan aja, lagian… Ooouuhh Pram..! Ouufffsshh… aduhh nakal kamu..! Yaahh.., gitu dong… sshhttt..!” omongan Widya terputus begitu aku mulai mengangkat kepalaku guna menjulurkan lidahku dan menjilat bibir luar kemaluannya, karena aku sendiri sebenarnya sudah tidak sabar ingin segera merasakan dan mencicipi bagaimana sih rasa kemaluan wanita.

Lubang kemaluan Widya yang sudah setengah merekah itu begitu mengundang hasratku untuk menyusupkan lidahku ke dalamnya. Perlahan kusapu bibir kemaluan Widya bagian bawah, dan.. eehh ternyata ada sedikit kebasahan disitu, sejenak kukecap kebasahan berupa lendir bening yang dikeluarkan liang surga milik Widya itu.
“Hhmmm.., lezat sekali..!” kataku dalam hati sambil meresapinya.
“Ehh Mbak, eee.. enak juga ya Mbak..?” ujarku sambil menikmati rasa gurih lendir itu.
Sambil merintih manja, Widya menyahut, “Ouuhh Pram.., itu baru lendir pelumas aja, coba dehnanti.. oohh.. sstt.. kamu akan tambah menikmati lendir yang keluar kalau aku orgasme nanti, makanya kamu harus berusaha membuatku puas, Pram..!”
Sementara pahanya dibuka semakin lebar memberi ruang gerak lebih leluasa buat lidah dan mulutku bergerak.

Kembali aku menjulurkan lidahku menyusup diantara belahan bibir kemaluan Widya sambil dibantu oleh jari-jarinya menguakkan belahan itu semakin lebar.
“Oouuhh… oouufff.. ssttt.., yah begitu sayanggg… terus masukkan lidah kamu lebih dalam..! Yaahhh.. teruusss.. ooughh..” erangan Widya terdengar lembut dan bergairah menikmati sentuhan lidahku.
Apalagi petualangan lidahku mulai menyentuh secuil daging kelentit yang sudah terasa semakin keras mencuat keluar dan membuat Widya merintih keras.
“Prammm.., yahhh.. betull..! Teruss.., yang lembut sayanggg..! Ooufff… eessshhhttt… ssttt.. edann..! Enak banget..! Aduuhhh.., eesshhh… kamu ternyata.. uuufff… ternyata pintar juga… eesshhttt…” desahnya tidak berhenti.
Sebenarnya aku hanya mempraktekkan apa yang selama ini kulihat di film BF, bagaimana cara perlakuan oral sex pada liang kemaluan wanita.

Kembali terasa di lidahku lendir yang keluar dari liang kemaluan Widya semakin banyak. Oohhh Tuhan! Ternyata betapa nikmatnya rasa lendir kemaluan wanita itu. Aroma harum kemaluan milik Widya semakin tajam menusuk hidungku seiring semakin banyaknya lendir itu membanjir keluar dan membuatku semakin bernafsu terus menjilati seantero kemaluan Widya, terutama klitoris yang berwarna merah muda itu memang sangat membangkitkan hasratku untuk lebih bernafsu menjilatinya. Daging kelentit itu terus kusentil dengan lidahku dengan irama yang teratur, baik ke samping maupun ke atas dan ke bawah.
“Adduuuhhh… Praaammm… eesshhhttt… pintar sekali kamu..! Yahhhh begitu.., teruusss… duhh Gusti.. nikmat sekali..! Adduuhh.., kayaknya aku mau sampai nih..! Terusss…!” rintihan Widya terdengar semakin keras, dan malah sekarang seperti menjerit kecil, apalagi entah perintah dari siapa, aku yang tadi membuat gerakan menjilat, sekarang mulai memagut kelentit itu dan langsung kukulum layaknya mengulum permen.

Kukulum dan kuemut dengan mulutku daging kelentit milik Widya dengan gemas bercampur nafsu. Kontan tubuh Widya kelojotan, menggelinjang hebat merasakan nikmat yang amat sangat di pusat kenikmatan yang terletak pada kelentitnya. Bongkahan pantat milik Widya yang tadi mendudukidadaku, entah refleks atau apa, sekarang semakin maju dan aku yang tadi agak mengangkat kepala untuk menggarap kemaluannya dengan mulutku, sekarang bisa bersandar pada bantalan sofa di lantai, karena bongkahan pantat Widya sekarang tepat di atas kepalaku. Sekarang posisi tubuh Widya duduk bersimpuh yang mana kepalaku otomatis tenggelam di jepitan kedua pangkal pahanya.

Posisi demikian terus terang membuatku sulit bernafas, apalagi mulutku masih terus mengulum dengan buasnya daging kelentit milik Widya yang sepertinya terasa semakin tegang dan keras.Sementara dari sela-sela bulu kemaluannya, aku masih sempat melihat kedua tangan Widya meremas-remas kedua payudaranya seperti berusaha menambah rangsangan terhadap dirinya. Terlihat juga kepala Widya mendongak ke atas dan kedua bola matanya mendelik-delik serta pupil hitam di matanya sudah tidak terlihat, hanya terlihat warna putihnya saja.
“Prammm.. enngg… ooouukkhhh… essstthhh… Ya ampun Tuhann..! Adduuuhh.. yyaaahhh… sedikit lagi… yahhh.. uufff… kkhh.. kk.. ka.. kamu ingin merasakan.., ouuhhh… ingin mencicipi lendirku kaann..? Yaahhh… sedikit lagi… dikiiit lagi sayaaanggg..! Makanya.., uughhh… emut terus..! Adduuhhh.., lebih keras lagi. Yaahhh.., terus hisap itilku.., teruusss… emut yang kuat sayang, yaahhh begitu..!” jeritan dan rintihan kenikmatan Widya terdengar putus-putus, sementara aku terus menghisap sambil menarik-narik kuat kelentit itu masuk ke dalam mulutku.

Dan tiba-tiba suara desahan itu berhenti. Sama sekali tidak terdengar jeritan maupun rintihan Widya, yang ada hanya tubuhnya bergetar hebat, kelojotan yang membuat pantat dan pinggulnya bergoyang kesana kemari, namun pagutan dan hisapan mulutku pada kelentitnya tetap tidak kulepaskan, mau tidak mau kepalaku ikut bergerak mengikuti gerakan liar bongkahan pantatnya,padahal tanganku yang dari tadi meremas-remas bongkahan pantat milik Widya itu sudah berusaha menahan gerakan liarnya itu. Aku tetap bertekad mempertahankan posisi mulutku menghisap dan memagut daging kelentit Widya.

Semenit kemudian kelojotan tubuh Widya terhenti, yang kurasakan tubuhnya meregang hebat, kedua pahanya kejat-kejat menghimpit kuat kepalaku yang membuatku sangat sulit untuk bernafas, namun aku rela menahan nafas hanya untuk menanti apa yang terjadi pada saat-saat dimana Widya akan menjemput puncak kenikmatan sejatinya.
Kembali Widya menjerit-jerit, “Aahhh.., essshttt… ituu..! Yahh.. ituu..! Aduuhhh.. enakkhh… enak banget..! Aahh.. esshhtt… aduuhhh.. ini sayangg..! Yaaahh.., ini aku keluarin ya..? Oouuuffssshhtt… nikmatt sekaliiii.., yaaahhh..!”

Benar saja, beberapa detik setelah itu, terasa di lidahku semburan hangat cairan lendir itu keluar tertangkap di ujung lidahku, mengalir menerobos masuk ke dalam mulutku, terus menyerbu ke dalam kerongkonganku dan langsung kutelan. Benar seperti yang dikatakan Widya, lendir bening yang dikeluarkan lubang kemaluannya benar-benar sangat lezat, gurih dan ada sedikit rasa manis bercampur asin. Sungguh suatu sensasi yang baru pertama kali kualami dalam hidupku.

Entah mungkin ada 5 atau 6 kali mulutku menangkap semburan cairan lendir yang membanjir keluar dari lubang kemaluan Widya. Saking derasnya aliran lendir itu menyembur mulutku sampai tersedak. Dan semburan cairan itu semakin melemah sampai akhirnya berhenti sama sekali, hanya berupa tetesan-tetesan saja yang tentu tidak kulewati begitu saja. Jepitan kedua paha Widya di kepalaku terasa mengendur, hingga aku dapat mengambil nafas panjang. Kuhirup udara dalam-dalam karena ada lebih semenit aku menahan nafas sampai dadaku terasa sesak. Namun pengorbanan itu kuanggap sesuai dengan sensasi dasyat yang kudapatkan melalui hisapan dan jilatan mulut serta lidahku di setiap inchi pada lubang kemaluan Widya, hingga mimpiku bisa menjadi kenyataan untuk merasakan nimatnya, lezatnya, enaknya cairan lendir yang dikeluarkan liang vagina seorang wanita.

Detik berikutnya Widya merebahkan tubuhnya di atas tubuhku, dengan posisi pinggulnya masih menindih dadaku, punggungnya menindih batang kemaluanku tapi kepalanya di atas kakiku dan kedua kakinya menjuntai lurus melewati atas kepalaku. Sementara tubuhku bagian atas mulai dari dada hingga wajah basah oleh cairan lendir yang hangat, terasa melekat pada pori-pori di permukaan kulitku. Dada Widya terlihat naik turun beriringan dengan nafasnya yang naik turun sisa dari kenikmatan yang baru saja dicapainya.

Selang beberapa menit kemudian setelah nafasnya mulai teratur, Widya bangkit dari tubuhku, dan dapat kulihat dengan jelas raut wajahnya yang memerah, dengan rambut yang berantakan, namun justru menambah keseksiannya.
Sambil tersenyum manis, dia berkata kepadaku, “Ouhhh Pram.., aku benar-benar nggak menduga, kamu begitu lihai dengan permainan mulutmu, padahal kamu belum pernah selain dengan aku kan..? Apa kamu bohong ya..?”
Aku menyahutnya dengan serius, “Lho kok nggak percaya Mbak..? Memang aku sudah pernah punya pacar 2 kali, tapi demi Tuhan, pacaranku sebatas ciuman thok..! Nggak lebih, swear Mbak..!”
Widya tersenyum geli melihat kepolosanku, “Iya.. ya.. aku percaya..! Lagian seandainya kamu bohong pun, aku nggak keberatan kok, masa bodo..! Yang penting aku enak, habis mulut dan lidah kamu itu lho bikin aku terbang ke awang-awang, nggak tau deh kalau senjata kamu itu bisa bikin aku juga terbang melayang nggak…”

Widya menanggapi keseriusanku dengan kerlingan nakal matanya yang menggoda. Tetapi habis berkata begitu, tangannya meraih batang kemaluanku yang dari tadi berdenyut-denyut. Diusapkannya perlahan batang rudalku dengan jari-jarinya yang lembut. Aku berdebar menanti aksi Widya selanjutnya. Setelah puas mengurut dan meremas-remas kemaluanku, Widya memposisikan tubuhnya berjongkok di atas perutku. Aku masih menduga-duga apa yang akan dilakukannya. Sepertinya dia akan menyusupkan batang kemaluanku pada lubang vaginanya dengan posisi seperti itu. Dadaku semakin berdebar menanti saat-saat dimana aku akan merasakan pertama kali dalam hidupku bagaimana nikmatnya bersanggama dengan seorang wanita.

Seperti tahu akan perasaanku, Widya mencoba membuatku rileks, “Pram.., kok kamu tegang sih..? Santai saja, Mbak maklum kalau kamu tegang begitu, Mbak dulu juga seperti kamu, gelisah dan tegang, nih coba ya..? Kamu tutup mata kamu, tarik nafas dalam-dalam..!” kata-kata Widya terputus begitu ujung di kepala kemaluanku menyentuh sesuatu yang hangat, basah dan kenyal.
Tapi aku tahu itu pasti bibir luar kemaluan Widya. Dengan telaten tangan Widya membimbing batang rudalku untuk mendapatkan posisi yang tepat agar jalan batang kemaluanku menembus liang kemaluannya bisa pas. Begitupun dengan pinggul Widya sedikit digoyangkan, agar posisi ujung kepala kemaluanku bisa tepat dalam jepitan bibir kemaluannya.

Aku memejamkan mata mengikuti nasehat Widya sambil merasakan geli bercampur ngilu. karena menikmati gesekan kulit kepala kemaluanku dengan bibir kemaluannya. Kuatur nafasku, dan, “Bleesss..!” begitu Widya menurunkan pinggulnya, terasa batang kemaluanku perlahan menerobos masuk ke dalam lubang vaginanya.
Ohh Tuhann..! terasa begitu lembut dan hangatnya bibir dan dinding kemaluan milik Widya ini mendekap sekujur batang kemaluanku.
“Oouhhh.. Mbaakk..!” hanya itu rintihan yang keluar dari mulutku mewakili berjuta kenikmatan yang baru kali ini kurasakan di umurku yang ke 20 tahun.
“Oouuufff.., gimana sayaaangg.., heeehh..? Enaakhh..? Aahhh.. ssttt.. aduuhhh.. gilaa..! Punya kamu.., uufff.. adduhh.., benar kan dugaan Mbak tadi..? Oouugghh.. gila..! Punya kamu gede banget.. tau nggak sih..? Aassshhtt… Menuh-menuhin bungkusnya, Edaann..! Uufff.. adduuhh..” rintihan Widya bersahutan dengan desahan nikmatku.
“Yahh.., ya Mbakkk..! Pantesan ya Mbak.., oouusshh… pantesan kk.. kata orang making love itu.., aduuhh.. sshh.. nikmat sekali..!”

Perlahan Widya mulai menggerakkan pinggulnya naik turun, sedangkan aku hanya bisa menggigit bibirku merasakan desiran nikmat yang baru kali ini kurasakan. Desiran nikmat itu bertambah seiring dengan semakin cepatnya gerakan naik turun pinggul Widya di pusat selangkanganku. Apalagi begitu gerakan pinggul Widya bukan hanya naik turun, tetapi disertai dengan berputar-putar yang membuat batang rudalku seperti dipelintir. Seluruh sekujur tubuhku bergetar,perasaanku terbang melayang menjemput nikmat yang teramat sangat. Sementara kedua tangannyameremas-remas kedua payudaranya sendiri, seolah ingin menambah rangsangan untuk dirinya sendiri.

Sekitar 5 menit kemudian, gerakan Widya seperti orang kesurupan.
Dia mendesis panjang, matanya terbalik, “Praammm.., uugghhh.. esshhttt… akhh.. akkuu.. hampir.., yaahh.. yaaahhh… yaaahhh… Gilaa..! Enak bangett..! Oouuufff..”
Dan rintihan itu tiba-tiba terhenti, tubuh Widya mengejang, sesaat kemudian Widya menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku, memeluk leherku kencang dan mulutnya melumat bibirku dengan buas. Akusendiri terkejut, entah apa yang dirasakannya. Yang kurasakan bibirku nyeri dilumat oleh bibirnya, dan entah dari mana tiba-tiba pangkal pahaku terasa basah tersembur cairan hangat yang mungkin dikeluarkan oleh vagina Widya.

“Edan kamu Pram..! Hehh.. ssthh.. uufff.., baru kali ini dalam satu babak Mbak kalah dua kali..! Ntar dulu ya..? Oohhh…”
Habis berkata begitu, Widya menciumi pipiku lembut dan mesra, sambil tangannya mengelus rambutku yang sudah acak-acakkan.
Widya menatapku dengan matanya yang sayu, “Kayaknya aku kok mulai sayang kamu ya..? Wah gawat nih Mbak nggak ingin kehilangan kamu…” Widya melanjutkan perkataannya.
Aku hanya menatap Widya dengan pandangan bingung, sementara rudalku masih tetap menancap dengan gagahnya di jepitan lubang kemaluan Widya yang sudah sangat becek itu.

“Mbak.., eengg… Mbak akhh.. ak.. akuu.., ee..,” belum tuntas ucapanku, Widya memotong, “Iya sayang, Mbak tau..! Kamu pingin dikeluarin kan..? Kerasa kok di memek mbak, kontol kamu berdenyut-denyut, hi.. hi.. kaciaannn..!”
Habis berkata demikian, Widya kembali menciumi wajahku, lalu menjalar ke arah leher, terus ke belakang telingaku.
“Kasian kamu sayang..! Coba deh rasakan ini..?”
Aku hanya bertanya dalam hati, apa maksud dari perkataan Widya baru saja. Namun kebingunganku hanya beberapa detik, karena terjawab oleh remasan otot-otot di kemaluan Widya yang meremas-remas sekujur batang rudalku.

“Oohhh.., Mbakk… uufffsss.. Mbak..! Aduhhh.. nikmatnya…” desahku tidak menentu.
Kalau dibiarkan, bisa kacau nih, aku bisa keluar tanpa memberikan perlawanan yang berarti.Tanpa mengeluarkan kemaluanku pada vaginanya, tanpa di diduga oleh Widya, aku merubah posisiku, dimana sekarang aku yang di atas menindih tubuh Widya. Kulihat Widya sedikit terkejut, namun dia hanya tersenyum melihat ulahku.
“Gantian ya Mbak..? Sekarang Mbak istirahat aja menikmati semuanya.”
Sambil berkata begitu, aku menaikkan kedua kaki Widya yang jenjang itu ke atas pundakku.
“Adduuhh.., kok kamu tau sih posisi gini..? Posisi kayak gini Mbak paling suka lho..! Ayoo..! Kok diam saja..? Mbak ‘emut’ lagi lho kontol kamu sama memek Mbak, nih rasain..!” ancamnya.
Benar saja, ancamannya betul-betul di buktikan, kembali kurasakan batang rudalku terasa diremas-remas dengan lembut oleh liang kemaluan Widya.

Memang aku kalah jauh pengalaman di bidang seks, namun dasar sifatku yang tidak mau kalah, aku mencoba mengimbangi permainan hisapan vagina Widya. Perlahan kumulai menggerakkan batang kemaluanku keluar masuk di jepitan bibir vagina Widya yang masih terus mengemut batang kemaluanku. Dari gerakan perlahan, aku mencoba menaikkan tempo, semakin cepat rudalku menggelosor maju mundur pada lubang kemaluan Widya. Semakin lama denyutan bibir kemaluan Widya terasa melemah, seiring desahan nafasnya semakin keras terdengar menebar nafsu birahi.
“Iyyaa..! Terus..! Yaahh gituu..! Aduuhh Pramm..! Enak banget..! Terus tambah kenceng..!”
Disela-sela rintihan Widya, aku mendengar kecipak air lendir di setiap hantaman batangkemaluanku yang merojok-rojok seisi relung-relung liang vagina Widya.

Posisi kaki Widya sekarang menjepit punggungku yang otomatis ikut naik turun seirama gerakan naik turunnya pinggulku.
“Oouuuhh.., Mbakk..! Aku baru merasakan enaknya ML ya Mbak..? Aduuhhh.. enakk.. tenan Mbak..!” aku yang memang baru merasakan nimatnya bersetubuh dengan seorang wanita, benar-benarmerasakan nikmatnya surga duniawi ini.
Detik demi detik tidak kulewatkan, kuresapi betul phenomena ini dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
“Pramm.., uuff.. ssstt.. Pram.. oohhh.., aduhh Gusti..! Adduuhhh.. gawat..! Mbak mau… uuffsshhtt.., Mbak mau keluarrr.., yaahhh… teruss..! Dikit lagi.., yaahh.. yaahh.. eesshhtt.. essshh.. aahhh..!” terlihat mata Widya membuka lebar, namun yang terlihat hanya putihnya saja, entah dimana pupil hitam di matanya itu, pelukannya tambah erat, dan jepitan kedua kakinya tambah kuat menjepit pinggulku yang semakin cepat menghantam selangkangannya.

Beberapa detik kemudian, kembali kemaluan Widya berdenyut-denyut yang menandakan dia kembali meraih orgasmenya yang ketiga kali. Sedang aku entah dikarenakan denyutan liang kemaluan Widya atau apa, sesaat lagi seperti akan memuntahkan semua isi dari batang rudalku. Benar saja, kenikmatan yang kurasakan itu seperti merambat naik ke puncak dan terpusat pada batang kemaluanku.
“Ooouuhh.., Mbak.., adduuhh.. Mbaakk..! Yaaahhh.. oouuhhh Godd..!” terasa ada aliran pada batang rudalku menuju ujung di kepala kemaluanku, dan, “Sreett.. serr.. sseerrr…” entah berapa kali air maniku menyembur dari pucuk kemaluanku menyerbu masuk dan membasahi setiap relung pada dinding kemaluan di seantero lubang kemaluan Widya.

Beberapa menit kemudian, “Mbaakk.., hilang deh perjakaku diambil Mbak Widya..!” aku pura-pura merengek di depannya, sementara batang kemaluanku masih menancap pada lubang vagina Widya.
“Iya deh maaf yaa..? Kamu menyesal..?” Widya menyahut sambil mengecup pipiku dengan perasaan sayang.
Aku hanya menggeleng, lalu disambungnya lagi, “Pram, Mbak serius lho, kayaknya Mbak ada perasaan sayang deh sama kamu. Kepolosan dan kejujuran kamu itu yang membuat Mbak suka kamu. Tadinya Mbak hanya mau membalas perlakuan pacar Mbak itu, tapi kok rasanya malah memang Mbak sayang kamu. Lagian kejantanan kamu jauh di atas dia, Mbak sampai kepayahan menahan gempuran kamu. Kamu tau kan Mbak tadi orgasme sampai tiga kali..?”

Aku mengangguk, “Iya Mbak, aku tahu, Mbak tadi keluarin lendir tiga kali, pertama pakai mulutku, yang kedua dan ketiga pakai si ‘Adek’..!”
Aku mengibaratkan batang rudalku dengan sebutan ‘Adek’. Mbak Widya tersenyum mendengar perkataanku tadi, “Hemmm.., boleh juga tuh, nama kesayangan kontol kamu ‘Adek’ aja ya..? Iya nih, si ‘Adek’ bikin Mbak dehidrasi, kekurangan cairan tubuh..!”
Terasa batang rudalku berangsur lemas, dan tidak lama kemudian tercabut dengan sendirinya dari segala kehangatan dan kebasahan pada liang surga milik Mbak Widya ini. Kulihat cairan maniku tumpah kembali keluar bercampur dengan lendir milik Mbak Widya. Sekonyong-konyong Mbak Widya menempelkan telapak tangan kanannya di mulut kemaluannya sendiri.

Aku terbengong menyaksikan ulahnya, “Mau ngapain nih orang..?” batinku.
Seperti mengetahui akan kebingunganku, Widya hanya tersenyum, lalu dia berkata, “Pram, mani seorang perjaka konon rasanya sangat lezat, makanya Mbak ingin mencicipi mani kamu. Toh tadi kamu juga udah ngerasain cairan lendirku kan..? Apa salahnya kalau Mbak juga ingin merasakan dan mencicipi sperma kamu..?”
Setelah dirasa cukup, Widya menarik tangannya yang tadi menutupi selangkangannya, terlihat di telapak tangannya penuh dengan cairan spermaku. Tanpa ragu-ragu cairan sperma di telapak tangannya dibawa ke depan mulutnya dan langsung direguk perlahan, sambil dikecap terlebih dahulu dengan matanya sedikit terpejam, seolah Widya sedang menikmati sebuah minuman terlezat yang pernah dirasakannya.

Diseruput sedikit demi sedikit sampai akhirnya cairan sperma itu habis. Seperti tidak puas, telapak tangannya dijilat seolah tidak rela ada sisa spermaku yang tertinggal di telapak tangannya.
Aku tertegun dan meringis dengan semua ulah Widya, “Nggak jijik toh Mbak..? Apa sih rasanya, kayaknya kok sampai segitunya..?”
Widya langsung menyahut ucapanku, “Lho kamu sendiri tadi apa nggak jijik menghisap habis lendir Mbak..? Hayo..? Air mani kamu bener-bener lezat, gurih nggak seperti air mani pacar Mbak, bau..! Kalau lagi berkencan dengan dia terus sperma dia keluar, Mbak sampai muntah. Gimana ya..? Sperma kamu bener-bener putih dan bersih, Mbak suka banget dengan sperma kamu, bikin Mbak ketagihan deh kayaknya.”
Kemudian kami membersihkan diri dan kulihat jam sudah menunjukkan pukul 05:00 dini hari. Sambil berpelukan, kami pun terlelap bersama.

Demikianlah, setelah itu kami masih sering mengulangi perbuatan itu pada beberapa kesempatan, sampai akhirnya Widya kembali ke pacarnya yang dulu dan kudengar mereka akhirnya menikah. Kalau diingat kembali, aku hanya tersenyum sendiri dengan pengalaman pertamaku bersetubuh dengan seorang wanita. Ya, dengan Widya lah pertama kali kurasakan nikmatnya tubuh wanita dan yang merenggut keperjakaanku.
















Five Second


Nama saya Iwan (samaran), tinggi 167, umur 27 tahun, kebetulan warga keturunan. Pada tahun 1995 saya kuliah di daerah Semanggi, jurusan teknik, lalu karena satu dan lain hal pada tahun 2000 saya kuliah lagi di universitas komputer terkenal di Jakarta Barat. Saya punya kecenderungan tertarik jika melihat wanita yang lebih tua, rasanya ingin sekali bermain cinta dengannya, karena menurut saya wanita tersebut sexy sekali.

Wajahku tergolong biasa saja, tidak jelek dan tidak ganteng-ganteng sekali (kata orang-orang begitu sih). Badan saya cukup atletis, sehingga kalau orang yang baru pertama kali bertemu pasti beranggapan bahwa saya rajin fitness, padahal terbilang jarang sekali, sekali-sekali saja, itu pun kalau ke rumah pacar saya yang terakhir (yang nota bene sekarang sudah bubar).

Saya tinggal di Jakarta dan sudah bekerja di Jakarta Barat. Saya akan menceritakan pengalaman sex yang agak memalukan sebenarnya untuk diceritakan, tapi ya tidak apa-apa untuk berbagi pengalaman. Kisahku ini benar-benar terjadi, bukan rekayasa dan maaf kalau kurang bisa cerita dengan baik karena ini adalah tulisan pertamaku dan saya baru tahu bahwa menulis, mendeskripsikan suatu keadaan dari kedua belah pihak itu ternyata sulit sekali!

Tidak banyak wanita yang singgah dalam kehidupanku, paling hanya beberapa saja, mungkin dikarenakan sikap dan karakterku yang pemalu. Mungkin juga karena lingkungan dimana saya dibesarkan dan pergaulan saya yang tergolong baik-baik.

Saya akan menceritakannya secara berurut, dengan wanita yang pertama terjadi pada tahun 1997, pertemuan kami terjadi di suatu acara kemahasiswaan yang diikuti oleh banyak kampus, di Villa Nisita, di kaki gunung Gede. Pada waktu itu saya masih kuliah di kampus Semanggi.

Namanya Rike (samaran), kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi di daerah Grogol. Pertama kali bertemu, sikap saya biasa saja karena menurutku dia tidak begitu cantik, tapi kulitnya putih bersih, berbodi langsing dengan rambut panjang tergerai (saya suka wanita berambut panjang dan berkulit putih). Kami dikenalkan oleh temanku, saat itu mereka sedang asyik mengobrol, karena waktu itu memang saatnya makan siang.

“Rike..” katanya sembari mengulurkan tangannya.
“Iwan..” kusambut tangannya yang ternyata kulitnya halus sekali. Akhirnya kutahu juga namanya, gumamku dalam hati.

Dari obrolan siang itu aku tahu sedikit latar belakangnya, keluarganya. Rike berasal dari daerah Jawa Tengah yang mempunyai dialek khas, jadi kalau dia berbicara, orang lain pasti akan langsung tahu darimana dia berasal.

Tiga hari lamanya acara tersebut berlangsung, tidak banyak komunikasi yang terjadi, hanya sekali-kali baik saya maupun dia saling mencuri pandang saja. Pernah suatu kali tatapan mata kami bertemu tetapi kami sama-sama buang muka, lucu sekali kalau mengingat-ingat hal tersebut. Lalu kami saling bertukar nomor telepon, dan kuberi juga nomor pagerku (waktu itu masih jamannya pager).

Sewaktu kuliah saya kos di daerah dekat kampus, tiga hari setelah acara tersebut saya menelepon ke rumah dan saya diberi tahu bahwa kemarin Rike menelepon. Lalu saya langsung menelepon kosnya di daerah Grogol.

“Hallo, bisa bicara dengan Rike?” tanyaku.
“Dari siapa ini?” sahutnya di seberang sana.
“Dari Iwan” jawabku.
“Sebentar ya..” jawabnya.
“Non.., ada telepon, dari Iwan!” kudengar samar-samar suaranya memanggil Rike.
“Hallo..” terdengar suaranya yang khas.
“Hallo juga..” sahutku.
“Apa kabar? Ini Iwan, waktu itu kamu telepon ke rumahku ya?” tanyaku.
“Iya, tapi kamunya gak ada..” jawabnya.
“Kan aku kos, lupa ya?” kataku.

Singkat cerita aku diajak ke tempat kosnya di lantai 3, dan hanya 1 kamar, sedangkan adik dan cicinya ada di lantai 1 dan 2, dan seperti dugaanku kamarnya rapi sekali, memang seorang melankolis sejati, pikirku dalam hati.

Dengan berjalannya sang waktu hubungan kami semakin dekat, memang tidak ada kata ‘jadian’ di antara kami, hanya kami tahu sama tahu saja. Hubungan yang benar-benar tidak memikirkan sex, maklum kami masih sangat polos waktu itu. Hanya saja aku yang sering membayangkan bersetubuh dengannya karena sering menemaninya tidur-tiduran di ranjang yang sama, melihat bra-nya pada saat dia menunduk dan menulis.

Sampai pada suatu saat saya peluk dia dan minta diajari berciuman, waktu itu Rike memakai piyama kaos dan celana panjang, awalnya dia tidak mau tetapi akhirnya dia mau juga. Pertama kali berciuman rasanya agak aneh, gigi kami sering beradu. Dia mengajariku berciuman, tapi tetap saja banyak salahnya karena memang waktu itu saya belum pernah berciuman sama sekali.

Aku menindih tubuhnya, sambil berciuman saya pegang payudaranya, dan dia memperingatkanku..

“Eit, tangannya..”
“Iya deh, maaf..” sahutku.

Saking asyiknya berpagutan, posisi kami sudah terbalik, dia ada di atasku. Kali ini kucoba lagi memegang payudaranya, tapi kali ini dia diam saja, tidak memberikan respons penolakan. Tanganku kumasukkan ke dalam kaos tidurnya dan meremas dari payudara dari luar bra-nya. Sementara tanganku yang satunya lagi meremas pantatnya.

“Matiin dulu dong lampunya, kan aku malu..” pintanya. Lalu aku bangkit berdiri dan mematikan lampu, Rike membuka kaos dan bra-nya lalu berkata.
“OK deh, saya ladenin kamu, buka kaos kamu..” lalu kami berpagutan lagi.

Saya tidak bisa melihat jelas payudaranya karena kamarnya remang agak gelap dan hanya lampu depan kamarnya yang menyala, hanya putingnya saja yang terbayang bulat. Yang bisa saya rasakan hanya kenyal payudaranya saja, payudaranya tidak besar, putingnya kecil sekali. Sambil meremas kucoba memelintir putingnya hingga nafasnya memburu dan agak berat, belakangan kuketahui bahwa ukurannya 32A. Di tengah pergumulan tersebut, saya mencoba menarik turun celana panjangnya, tetapi dia tidak mengijinkannya.

“Atas aja..” katanya.

Dan besoknya, di bibir kami terlihat luka-luka bekas pertempuran semalam. Sejak saat itu setiap kali kami bertemu, kami melakukannya walaupun hanya sebatas ‘bagian atas’. Karena terlalu sering datang, saya merasa tidak enak dengan adik dan kakaknya hingga kami sepakat jam kedatangan diubah menjadi jam 11 malam agar tidak diketahui orang kos. Kadang-kadang Rike yang kuajak ke kosku, jam 12 kujemput dan pulang lagi ke kosnya sekitar jam 3-an.

Pernah suatu kali, sewaktu bercumbu tanganku masuk ke dalam celana dalamnya dan kudapati celananya sangat basah dan kutanya..

“Kamu terangsang ya?” (bodohnya aku saat itu..) tapi dia tidak mau mengakui.
“Enggak..” Lalu kami melanjutkan percumbuan, lalu tiba-tiba tangannya menurunkan resleting celanaku, lalu aku berkata..
“Jangan..”
“Tapi aku pengen lebih..” sahutnya.

Akhirnya kuturunkan celana panjang dan celana dalamku biar dia leluasa, pikirku. Hari itu, percumbuan tersebut berakhir begitu saja. Sampai pada suatu saat, kejadiannya di kos saya, tengah malam tentunya, kami mulai berpagutan, kulepas kaos dan bra serta celana panjangnya hingga praktis hanya tinggal celana dalamnya, dan aku sudah bugil karena sejak dia ‘minta lebih’ waktu itu saya pasti menurunkan celana panjang saya.

Mungkin karena dia merasa tidak enak hanya saya yang bugil, akhirnya atas inisiatifnya sendiri dia melepaskan celana dalamnya, lalu kubantu menariknya ke bawah agar terlepas. Baru kali itu aku melihat vagina secara langsung, bulu-bulunya dicukur rapi membentuk piramid terbalik, lalu kutindih dia, kakinya dia renggangkan sehingga terasa agak hangat kurasakan. Kucoba mendorong-dorong penisku agar masuk, tapi tidak masuk-masuk juga.

“Gak pas posisinya..” ujarnya, lalu dia mengambil penisku dan memposisikan di bibir vaginanya.

Walaupun sudah kudorong-dorong, tetap saja tidak masuk, mungkin karena dia masih perawan, pikirku. Setelah sekian lama mencoba dan gagal lalu kucoba memasukkan jariku ke dalam vaginanya, basah.. Kudorong keluar masuk, licin, hangat sekali rasanya.. Lidahku menciumi putingnya, kiri dan kanan bergantian, hingga dia bergumam. Kurasakan putingnya semakin keras dan otot-ototnya menegang lalu dia melemas. Ngos-ngosan seperti habis berlari jauh.. Dan bodohnya lagi, aku tidak tahu bahwa Rike telah orgasme..

Lalu setelah dia agak tenang, kami berciuman lagi, saling mengulum lidah, dan meremas payudaranya sambil memainkan putingnya.. Lalu kutindih lagi dia, dia meregangkan kaki dan membelit pantatku agar makin mendekat. Penisku tepat di berada lubang vaginanya, kugesek-gesek di seputar bibir vaginanya, lalu dia berkata..

“Enak Rik..” lalu kuciumi payudaranya dan tanpa sadar tiba-tiba penisku masuk menyeruak ke dalam vaginanya.
“Masuk ya?” tanyaku, Rike meringis.
“Sshh..” aku tahu dia kesakitan, lalu aku coba mengubah posisi.

Ketika hendak mengubah posisi, kurasakan nikmat sekali pergesekan antara kulit penisku dan dinding vaginanya lalu kurasakan aku hendak orgasme. Karena aku tidak ingin Rike hamil di luar nikah maka segera kucabut penisku dan akhirnya spermaku muncrat di luar. Jadi kira-kira hanya 5 (lima) detik penisku berada di dalam vaginanya.

Begitu kucabut, terlihat darah segar agak banyak membanjiri spreiku, lalu malam itu juga Rike mencuci sprei yang terkena node darah keperawanannya, lalu dia menangis, tersadar bahwa dia sudah tidak perawan lagi.

“Aku sudah tidak perawan, gimana masa depanku kalau aku tidak married dengan kamu?” dia bergumam.

Tapi penyesalannya cuma bertahan dua hari, selebihnya kami tetap melakukannya sebatas petting seperti biasa karena sulit sekali menembus vaginanya, pernah dia berkata..

“Aduh Rik, masukin deh, sekali saja..”, aku coba, tetapi tetap sulit sekali masuknya.

Belakangan dia baru mengakui pernah beberapa kali orgasme dengan tanganku, dan parahnya saya tidak pernah tahu kalau dia sudah orgasme.

Semua aktivitas sex yang kami lakukan benar-benar murni secara naluriah anak manusia yang belum pernah melakukan sex, dari cerita saya yang pertama sampai yang nanti saya akan saya ceritakan, saya belum pernah merasakan sex yang sesungguhnya seperti yang sering saya baca di sini.

Mungkin di antara pembaca wanita ada yang bersedia mengajari? Saya sangat terbuka atas komentar, saran dan kritik pembaca, silakan alamatkan ke email saya..


Tidak ada komentar: